Pagi hari di rak dapur. Sinar matahari mengintip malu-malu dari celah jendela, menyoroti para peralatan makan yang baru saja dicuci dan ditiriskan semalaman. Di antara mereka, dua sahabat sejati kembali bertemu. Piring, si datar elegan nan stylish, dan Sendok, si kecil ceria yang selalu ingin tahu.
Sendok: “Selamat pagi, Piring! Udah siap menjalani hari penuh makanan lagi?”
Piring: (sambil menguap) “Ugh, pagi juga, Sendok. Aku masih pegal gara-gara semalam dipakai nahan rendang. Dagingnya enak sih, tapi bumbunya itu loh, nempel kayak kenangan mantan!”
Sendok: (mengedipkan mata) “Kenangan bisa hilang, tapi lemak rendang abadi. Hahaha!”
Piring: “Ya ampun, kamu tuh bisa-bisanya bercanda tentang trauma pembersihan. Aku sampai digosok tiga kali baru kinclong!”
Sendok: “Eh tapi aku juga gak kalah sengsara. Dicelup ke teh panas, terus dicemplungin ke nasi, lalu nyungsep ke sop. Itu kayak naik wahana ekstrem tanpa sabuk pengaman!”
Piring: (tangan di pinggang imajinatif) “Kamu mah enak, selalu disayang. Dibersihin pelan-pelan, digosok satu per satu. Aku? Digosok pake spons kasar kayak utang seratus ribu belum dibayar dua tahun!”
Sendok: “Yah itu karena kamu besar. Mereka pikir kamu kuat, jadi ya... disiksa rame-rame.”
Piring: “Eh, tapi inget ya, gak ada kamu pun aku masih bisa dipakai makan. Tapi gak ada aku, kamu mau ngaduk apa? Ubin?”
Sendok: (nyengir) “Tenang, Tenang. Kita ini tim. Aku ‘angkat makanan’, kamu ‘tampung makanan’. Kita duet maut!”
Piring: “Hmm, benar juga. Tapi aku tetep dendam sama kamu karena waktu itu kamu bikin kuah tumpah ke baju. Aku jadi dikira gak sopan sama tamu!”