Mohon tunggu...
Rijo Tobing
Rijo Tobing Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis buku kumpulan cerpen "Randomness Inside My Head" (2016), novel "Bond" (2018), dan kumpulan cerpen "The Cringe Stories" (2020) dalam bahasa Inggris. rijotobing.wordpress.com. setengah dari @podcast.thechosisters on Instagram.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Tuhan Tahu, Tidak?

10 Oktober 2020   21:25 Diperbarui: 11 Oktober 2020   02:43 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Tuhan tahu, tidak?

Aku takut. Sebenarnya aku takut mati. Aku pikir dengan kematian aku akan mendapatkan perhatian yang selama ini kucari. Aku pikir jika aku tak ada lagi maka orang-orang yang mengenalku menyadari bahwa aku sangat berarti. Akan tetapi, semua itu pertaruhan. Tidak ada yang bisa menjamin siapa yang akan terpengaruh jika aku meninggalkan dunia ini. Tidak ada. Seumur hidupku aku melihat suami dan istri yang dunianya seakan-akan kolaps ketika pasangannya meninggal, segera bangkit dan menikah lagi ketika tanah kuburan masih merah dan lembap. Aku juga melihat orang tua yang kehilangan anaknya, tak ragu berpesiar keliling dunia untuk melupakan kesedihannya. Semua perkabungan dan air mata hanya ada pada hari kematian. Setelah itu hidup kembali berjalan, waktu terus berputar, dan aku beserta semua orang yang mati pada akhirnya akan lenyap dari ingatan.

Tuhan tahu, tidak?

Aku masih takut mati, tapi aku ingin mati. Hanya karena aku tidak menemukan lagi jangkar yang dapat menahanku di dunia ini. Keluarga dan orang tua bukanlah hal yang utama bagiku. Kami saling menghubungi jika ada perlu saja. Sisa waktu kami di dunia ini dihabiskan dengan penyesalan dan tuduhan yang tidak pernah selesai. Setelah dewasa dengan berani aku menantang, memarahi mereka karena gagal sebagai orang tua. Namun kemarahanku tidak menghasilkan apa-apa. Mereka tetap ngotot mereka sudah berupaya sebaik mungkin dan aku seharusnya bersyukur. Pendidikan, uang, status sosial yang aku miliki sekarang adalah hasil mereka menabur bertahun-tahun lampau. Sekarang aku menuai dan aku harus tahu diri dan tahu terima kasih.

Tuhan tahu, tidak?

Pada akhirnya aku berhenti mengharapkan kedua orang tuaku untuk mencintaiku sebagai anak. Sampai usia senja mereka tetap sama. Dan sampai usia paruh baya aku tetap kerbau yang dicocok hidung, menurut saja atas nama cinta dan kepatuhan. Menerima bahwa kami semua adalah korban keadaan dan tekanan hidup ketika itu. Aku telah berhenti menuntut dan berharap aku kembali menjadi anak kecil yang bergantung penuh, percaya dan cinta seratus persen kepada kedua orang tuaku. Aku telah tumbuh menjadi seorang dewasa yang rapuh dan kerdil seperti anak-anak. Di luar aku terlihat tangguh dan percaya diri. Di dalam aku tahu jiwaku tak beres, nilai-nilaiku dalam memandang kehidupan amburadul, dan rohku sudah lama mati.

Tuhan tahu, tidak?

Untuk hari ini aku sudah menimbang-nimbang banyak cara. Cara yang paling tidak menyakitkan bagiku, dan yang paling menyakitkan bagi yang akan kutinggalkan. Pisau, obat, dan tali adalah pilihanku. Dalam hati aku sangat gemetar, cara apa pun yang kupilih pasti membuatku merana. Itu yang pernah terjadi ketika aku berusia belasan tahun dan dengan nekat mengambil pisau cukur ayah untuk memotong nadiku. Waktu itu ibu menghentikanku dengan tangis, ayah menghentikanku seperti biasa dengan angkara murka. Tak terhitung berapa kali ikat pinggangnya menyabet punggungku. Selama berhari-hari bokongku bengkak dan aku tak kuasa berjalan. Apakah dengan kematianku kali ini mereka akan menyesal karena tidak menyayangiku ketika mereka masih memiliki waktu? Aku penasaran.

Tuhan tahu, tidak?

Seandainya, seandainya hari ini ada yang menghubungiku, memberitahuku bahwa aku tidak perlu mati. Aku ingin mendengar bahwa aku berharga buat orang lain. Bukan karena pekerjaanku, bukan karena jumlah uang yang kudapatkan setiap bulan, bukan karena status sosial keluargaku, tapi karena aku adalah aku. Seorang pria tua yang kesepian yang seumur hidupnya sangat mendambakan cinta. Seandainya ada satu telepon saja masuk, aku tidak akan mati hari ini. Aku tidak akan mengambil hidupku sendiri. Aku akan memberi diriku satu kesempatan lagi, satu kehidupan lagi. Dan mungkin setelah hari ini aku akan mencari bantuan. Aku ingin berterus terang bahwa aku tidak sanggup lagi mengatasi beban ini sendirian. Aku ingin merdeka, aku ingin dibebaskan dari belenggu masa lalu. Aku ingin belajar memaafkan dan melupakan. Aku ingin diberi keberanian untuk kembali menghargai setiap napas yang kumiliki. Aku perlu dibantu dan aku tak ingin malu mengakui bahwa aku tak berdaya.

Tuhan tahu, tidak?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun