Mohon tunggu...
Rijo Tobing
Rijo Tobing Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis buku kumpulan cerpen "Randomness Inside My Head" (2016), novel "Bond" (2018), dan kumpulan cerpen "The Cringe Stories" (2020) dalam bahasa Inggris. rijotobing.wordpress.com. setengah dari @podcast.thechosisters on Instagram.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Empat Jenis Perbudakan yang Mungkin Masih Membelenggu Kita

18 Agustus 2020   01:30 Diperbarui: 18 Agustus 2020   09:35 549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apakah kamu pernah mengucapkan hal-hal tersebut, kepada diri sendiri atau kepada orang lain, ketika seharusnya kamu melakukan sesuatu? Jika ya, maka kamu tidak sendirian.

Banyak orang, termasuk saya, yang sering merasa malas tiba-tiba. Niat banyak, impian segudang, tapi tubuh-hati-pikiran tidak sinkron dan tidak bisa bergerak untuk melakukan apa pun. Pada akhirnya kita menunggu mood yang tepat, menunggu kesambit sebelum bisa bekerja dan benar-benar menghasilkan sesuatu.

Sebenarnya apa yang kita tunggu? Yang namanya mood/ilham/inspirasi itu datangnya tak tentu. Tahu-tahu hari sudah berganti, kita sudah kehilangan satu hari lagi, dan tidak ada hasil nyata dari tangan kita. Kita mengecilkan arti disiplin dan komitmen terhadap pekerjaan dengan alasan mood/ilham/inspirasi itu akan membuat output kita lebih optimal dibandingkan sekedar bekerja karena rutinitas.

Padahal belum tentu. Tidak ada yang tahu pasti. Thomas Alva Edison sendiri pernah berkata: "Kejeniusan itu 1% inspirasi dan 99% perspirasi". Perspirasi berarti mengeluarkan keringat, alias bekerja keras. Bakat dan talenta tidak berarti apa-apa kalau tidak diasah, tidak dibentuk, tidak dilatih. Orang yang berbakat tapi malas pasti dikalahkan oleh orang yang tidak berbakat tapi rajin. Nama lain dari kejeniusan adalah kerja keras. Titik.

Kemalasan itu seperti tuan yang memperbudak kita. Ketika kita malas, kita merasa tidak ada pekerjaan kita yang beres, semuanya terasa salah. Mungkin awalnya kita tidak malas tapi malas-malasan karena menunggu mood/ilham/inspirasi yang tepat. Akan tetapi, ketika kita masih menunggu-nunggu, orang lain sudah melangkah lebih jauh di depan kita. Mereka sudah bekerja lebih keras, menghasilkan lebih banyak, dan merasakan lebih banyak kepuasan.

Ketika saya berhenti bekerja di korporasi dan mulai berwirausaha, saya tahu bahwa kemalasan adalah rantai perbudakan pertama yang saya harus putuskan. Saya harus rajin, bagaimanapun malasnya saya. Kalau saya tidak rajin, bagaimana saya bisa mendapatkan uang? Rajin pangkal dapat klien, malas pangkal tidak bisa membayar cicilan. Begitu prinsip saya dari dulu sampai sekarang.

Perjuangan membebaskan diri dari tuan yang bernama kemalasan ini tidak berlangsung sekali saja untuk selamanya. Ia adalah perjuangan tanpa henti setiap detik, setiap hari. Ia adalah perjuangan yang memerlukan keluarga dan teman-teman untuk mengingatkan dan menguatkan.

Ketika kemalasan mulai ingin memperbudak saya lagi, saya akan mengingat apa saja yang seharusnya saya bisa capai jika saja saya tidak malas. Dan saya pun menguatkan tekad untuk melawan kemalasan itu. Saya orang merdeka, saya tidak akan tunduk pada perbudakan yang membuat saya menjadi orang yang tidak produktif, sekalipun perbudakan itu hanya berlangsung di dalam pikiran saya sendiri.

Apakah kamu pernah atau sedang merasa diperbudak oleh kemalasan? Apa yang kamu lakukan untuk membebaskan diri darinya?

2. Iri hati

Setiap manusia pasti pernah iri hati. Walaupun saya menuliskan di sini tentang orang tua saya yang mengajarkan bahwa iri hati itu adalah sebuah kesia-siaan karena setiap orang memiliki lintasan larinya masing-masing dan saya berusaha mengamalkan ajaran itu, sepanjang hidup tentu saja saya pernah merasa iri hati kepada beberapa orang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun