Mohon tunggu...
Rihad Wiranto
Rihad Wiranto Mohon Tunggu... Penulis - Saya penulis buku dan penulis konten media online dan cetak, youtuber, dan bisnis online.

Saat ini menjadi penulis buku dan konten media baik online maupun cetak. Berpengalaman sebagai wartawan di beberapa media seperti Warta Ekonomi, Tempo, Gatra, Jurnal Nasional, dan Cek and Ricek.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kesiapsiagaan Hadapi Bencana Masuk Kurikulum, Pentingkah?

28 November 2019   07:07 Diperbarui: 28 November 2019   07:27 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Guru memadamkan api (rw-dokpri)

Cukup miris, saya mendengar berita tentang SMK Yadika 6 Pondok Gede, Bekasi yang terbakar, pada Senin (18/11/2019). Di lain tempat, gedung SMK Negeri 1 Miri Sragen, Jawa Tengah ambruk karena diterjang angin ribut pada Rabu (20/11/2019). Itu sebagai contoh, bagaimana sekolah sangat rentan terhadap musibah termasuk bencana alam. Kalau kita menengok berbagai bencana alam yang menimpa Indonesia, tak sedikit siswa, guru, dan tenaga kependidikan yang menjadi korban.

Ketika Megawati, Presiden Indonesia ke 5, menginginkan kurikulum memasukan konten kesiapsiagaan bencana alam, saya kira itu cukup relevan. Meski sebenarnya, Kemendikbud sudah memasukan konten kesiapsiagaan bencana alam dalam pendidikan karakter sejak  tahun lalu. Tapi kebijakan ini perlu penekanan agar lebih fokus dan benar-benar dipraktekkan di sekolah. 

Saya baru saja meliput sebuah acara pelatihan guru yang berasal dari wilayah rentan bencana. Acara ini diselenggarakan oleh Direktorat Pembinaan Guru Pendidikan Menengah dan Pendidikan Khusus, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 20-23 November 2019, di sebuah hotel di Tangerang, Banten.

Sebanyak 200 peserta pelatihan adalah guru olahraga dan guru bimbingan konseling dari 26 provinsi. Cukup menarik, bahwa para guru itu, meski hidup di wilayah bencana belum semua paham tentang perlunya kesiapsiagaan bencana. Kalau pun tahu, pengetahuan mereka masih tidak menyeluruh. Jadi cukup menarik juga acara pelatihan ini. Banyak dari mereka belum pernah mendapatkan latihan seperti ini.

Para guru dilatih mendirikan tenda besar yang dipakai untuk menampung pengungsi. Untuk mendirikan tenda lebih cocok bagi laki-laki karena perlu fisik kuat  mengangkat tenda yang beratnya ratusan kilogram. Ibu-ibu guru berlatih mengatasi api dengan karung basah, menyemprot api agar mati, dan seterusnya. Latihan dasar menghadapi gempa seperti cara berlindung, berlari secara tertib, dan seterusnya juga diajarkan. Saya melihat guru cukup antusias berlatih.

Dari pelatihan itu, saya yang bukan peserta juga ikut ketularan ilmu. Saya kemudian berpikir bahwa  pelatihan dasar cara menghadapi bencana ini mestinya diperluas secara masif, bukan saja di sekolah tapi ke seluruh masyarakat. Saya melihat ada beberapa keterampilan mendasar yang sebenarnya bisa mencegah bencana lebih besar.

Misalnya, ketika menghadapi kebakaran, asal api biasanya dari kecil kemudian membesar. Bagi orang yang tidak paham, ketika ada api kecil, mungkin dia cenderung takut dan kabur. Padahal ada cara  sederhana untuk mematikan api kecil. Caranya gunakan karung basah untuk menutup api kecil sebelum membesar. Beberapa keterampilan dasar seperti ini bisa diajarkan ke setiap warga sekolah. 

Mendirikan tenda (rw-dokpri)
Mendirikan tenda (rw-dokpri)
Tapi mengundang guru ke Jakarta akan terasa mahal sekali. Memang sepulang dari Jakarta, mereka akan menjadi fasilitator untuk mensosialisasikan ke guru dan sekolah lain menggunakan dana bantuan Kemendikbud. Menurut saya, perlu dukungan sosialisasi secara masif ke masyarakat dengan penggunaan teknologi informasi.

Tutorial penanganan bencana bisa dibuat dengan video yang diedarkan di YouTube atau media sosial lain. Warga sekolah di wilayah rentan bencana diharapkan mengadakan pelatihan melalui tutorial video terlebih dahulu. Penanganan bencana alam ini bisa masuk kurikulum secara khusus, tentu dengan kadar yang terukur agar siswa tidak semakin berat beban belajarnya. Bisa saja diajarkan melalui kegiatan ekstrakurikuler seperti lewat Pramuka.  

Dari beberapa wawancara, saya melihat perlunya sebuah sistem kesiapsiagaan bencana di sekolah. Bukan hanya kepada bencana alam, tapi juga bencana lain seperti bencana asap, kebakaran, banjir dan sebagainya. Mudahnya, sekolah harus membiasakan diri untuk menghadapi berbagai kemungkinan. Sekolah harus memiliki jalur evakuasi sekiranya ada bencana.

Perlunya pengumuman atau pemberitahuan tentang cara memasang kabel yang benar agar tidak konslet, menyimpan kertas yang benar agar terhindar dari kemungkinan terbakar, menyiapkan karung dan air di dekat dapur, cara menyimpan dokumen yang aman,, dan seterusnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun