Mohon tunggu...
Rifqy Azza
Rifqy Azza Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Lagi mikir

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

NFT: Harapan Baru Seniman?

17 Januari 2022   23:59 Diperbarui: 18 Januari 2022   09:47 652
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Republika.co.id

Baru-baru ini, kita dihebohkan dengan berita seorang remaja bernama Ghozali yang berhasil menjual foto selfie pada platform jual-beli NFT yaitu OpenSea, dengan nilai akumulasi hingga miliaran Rupiah. Hal ini tentunya membuat masyarakat Indonesia mulai menaruh perhatian pada keberadaan NFT (Non Fungible Token) sebagai salah satu aset digital atau komoditas yang dapat diperjualbelikan. Selain itu, keberadaan NFT juga menginisiasi sebagian besar remaja di Indonesia untuk terjun dan mencicipi dunia cryptocurrency dan NFT.

Secara singkat, NFT merupakan aset digital yang bekerja dengan sistem blockchain dan memastikan pemilik NFT mendapat hak kepemilikan secara eksklusif atas aset digital tersebut yang digambarkan dengan kepemilikan unique token. Makna dari Non-Fungible dalam NFT itu sendiri adalah unik dan tidak dapat digantikan dengan yang lain, sehingga setiap transaksi jual-beli yang terjadi, hanya akan ada satu unique token yang beredar atas aset digital tersebut. Sistem ini tentunya menjamin kepemilikan dan keamanan dari aset digital itu sendiri.

Dalam NFT Supermarket, berbagai jenis karya dapat diperjualbelikan, mulai dari lukisan, digital art, musik, hingga video. Tidak adanya batasan dalam aset digital yang diperjualbelikan memberikan kebebasan pada siapapun untuk dapat berpartisipasi sebagai penjual dalam pasar NFT. Bahkan setelah tren Ghozali, banyak sekali bermunculan karya-karya dijual yang sejujurnya tidak dapat dianggap valuable, bahkan secara hukum ilegal, seperti foto data KTP, foto ayam gepuk, hingga screenshot peringatan gempa. Hal ini tentunya membuat muak sejumlah masyarakat di Indonesia yang menggambarkan bahwa platform marketplace NFT saat ini banyak diisi dengan “sampah”.

Terlepas dari berbagai kontroversinya, NFT merupakan salah satu aset spekulatif yang nilainya tidak dapat diprediksi. Karakteristik ini menyebabkan banyak sekali NFT dengan nilai-nilai yang sangat fantastis, bahkan kadang tidak masuk akal. Namun, hal inilah yang menjadi daya tarik tersendiri bagi sebagian besar masyarakat yang tergabung dalam komunitas ini. Tidak hanya itu, NFT juga berhasil menarik berbagai kalangan mulai dari public figure, perusahaan besar seperti Marvel, hingga politisi untuk turut bergabung dalam tren NFT ini. Dari sini dapat dilihat bahwa NFT memiliki prospek market yang besar di masa mendatang.

Fenomena?

Berdasarkan observasi yang saya lakukan, sebelum adanya tren Ghozali, mayoritas karya digital yang dijual di marketplace NFT memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi. Tidak hanya itu, estetika yang disajikan dan pesan yang disampaikan juga sangat dalam. Karya-karya tersebut tidak bisa disebut “kaleng-kaleng” dan memang hanya orang yang memiliki keahlian saja yang dapat membuatnya. Hal ini tentunya menggambarkan bahwa banyak sekali artist yang mulai meramaikan dunia NFT. Lantas, mengapa NFT menjadi salah satu platform pilihan artist/seniman untuk berkarya?

Pertama, opportunity

Tidak bisa dipungkiri bahwa tingginya harga suatu aset digital dalam bentuk NFT merupakan daya tarik tersendiri bagi penjual, pembeli, maupun kolektor NFT. Sebagai salah satu bentuk aset, NFT juga dapat digunakan sebagai salah satu bentuk investasi, walaupun memiliki volatilitas harga yang sangat tinggi. Tidak hanya itu, besarnya komunitas NFT juga memberikan jaminan bahwa akan selalu ada demand di pasar NFT.

 Kondisi-kondisi tersebut akhirnya menjadi motivasi para artist untuk mulai berkarya di NFT. Sebagaimana kita ketahui, tren digitalisasi mulai menggerus perekonomian tradisional yang didasarkan pada interaksi fisik. Para seniman yang umumnya menjual karyanya secara fisik dan langsung kepada pembelinya, mulai kehilangan pasar. Peralihan gaya hidup masyarakat, khususnya dari bagaimana cara berbelanja, membuat jual-beli fisik tidak relevan untuk terus dijadikan sumber penghidupan bagi para seniman. Tidak hanya itu, kurang kuatnya ekosistem jual-beli seni yang lebih menghargai para seniman (sistem komisi, dll) juga menjadi alasan mengapa para seniman mulai mengalihkan fokus karyanya ke NFT.

Valuasi dari suatu seni juga mempengaruhi eksistensi seniman dalam berkarya. Selama ini, penjualan NFT didorong oleh adanya tren baru yang meningkatkan harga secara konsisten sesuai demand pasar. Tidak hanya itu, exposure ke pasar yang lebih luas juga mempertemukan berbagai jenis pembeli yang akhirnya membentuk valuasi seni yang lebih relevan. Hal ini berbanding terbalik dengan penjualan secara tradisional. Sebelum adanya NFT, para seniman kecil tidak memiliki “nama” harus berjuang untuk menjual karyanya, meskipun akhirnya dibeli dengan harga yang tidak sesuai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun