Mohon tunggu...
Rifqi Rahman
Rifqi Rahman Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Self-Sufficient

Selanjutnya

Tutup

Book

Islam, Kepemimpinan Perempuan, dan Seksualitas

30 Oktober 2020   19:33 Diperbarui: 25 Juni 2022   19:19 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Book. Sumber ilustrasi: Freepik

Dengan demikian, silam mengharamkan perempuan menjadi khalifah, sebab akan terbentur pada tugas sebgai imam masjid. Kepala negara yang dipegang perempuan dimana penduduknya mayoritas muslim akan menimbulkan pro dan kontra. Megawati pernah berkata pada intinya mengapa wanita tidak bisa menjadi pemimpin? Sedangkan wanita adalah pejuang, sesuatu yang tidak masuk akal wanita masih diskriminatif, dan ia mengatakan wanita tidak mau dijadikan makhluk kelas dua, Nabi Muhammad selalu membela wanita jika diperlakukan tidak adil, megawati berkata bukan untuk membela diri, tetapi saya punya hak untuk itu, ibu mega ingin agar perlakuan diskriminatif ini hendaknya dihilangkan.

Kendala itu berasal dari konsop "qawwam" pada ayat Alquran: "Arrijalu qawwamuna 'alan nissa", yang sering dimaknai tunggal: laki-laki sebagai pemimpin atau penguasa. Padahal, sebuah kata akan bergeser maknanya seiring dengan konteks ruang dan waktu. Padahal konteks munculnya ayat ini adalah situasi sosial tentang upaya pengaturan suami istri dalam rumah tangga.

Yang harus didebatkan adalah alam bawah sadar masyarakat laki -- laki, egonya tabu tunduk dibawah kekuasaan perempuan. Laki -- laki sejak kecil sudah dicap sebgai yang paling berkuasa. Prinsip dasar Allah menciptakan manusia, laki -- laki dan perempuan adalah untuk menjadi pemimpin. Dicontohkan oleh orang terdekat Rasulullah, yaitu siti khadijah sebagai penopang ekonomi keluarga yang merelakan hartanya untuk perjuangan Rasulullah. Siti Aisyah menjadi pimpinan perang Waqiatul Jamal. Maka, terasa tidak pas jika umat islam masih mempersoalkan kepemimpinan politik perempuan.

Di sub-bab selanjutnya membahas tentang kepemimpinan perempuan dan kualitas diri ada isu gender dalam kepemimpinan nasional yaitu: pertama, kekecewaan terhadap kualitas diri dan keraguan dari visi megawati. Kedua, penentangan didasarkan pada pijakan teologis. Ketiga, penentangan terhadap presiden perempuan ini muncul karena kukhawatiran masyrakat.

Polemik dan kontroversi tersebut bisa berubah menjadi bola salju yang dapat mengukur kesiapaan warga indonesia dalam mengakui perempuan sebagai pemimpin. kepemimpinan di sebuah negra pun tidak masalah apa dia seorang putra ataupun putri, Ibu ataupun Bapak, yang terpenting ialah pilihan rakyat, karena kita bangsa indonesia adalah negara demokrasi.

Dalam UUD 45, tidak satupun yang memberi peluang interpretasi ada masalah gender di sana. Kini kita sudah memasuki revolusi industri 4.0, tentu tingkat pemahaman masyarakat akan jauh lebih baik dari sebelumnnya. Namun, terkadang para politisi mengedepakan 'justifikasi' berdasarkan ayat justru berlawanan dengan semangat kelahiran sebuah agama atau kemunculan kitab suci yang menjunjung tinggi nilai kesetaraan antar manusia.

Beralih ke politik, etika, dan perempuan. Politik sebagai sebuah profesi adalah suatu yang netral. Sebagai profesi, ia bisa bersih dan bisa kotor, atau berada di antaranya keduanya. Namun kotornnya politik dapat sangat transparan, tak terlhat. Politik dapat menjadi kotor jika seseorang oitu mencampuri urusan kenegaraan denga urusan pribadi atau suatu kelompok yang menguntungkan baginya.

Perempuan diatur sedemikian rupa oleh alat negarayang bernama Dharma Wanita. Jika ada pemimpin seorang wanita, maka e=segera sang perempuan itu disingkirkan  secepat-cepatnya dan sekuat-kuatnya ke luar arena. Untuk menutupi bahwa negara berbasis menjunjung tinggi seorang laki-laki atau patriarki, maka diangkatlah menteri peranan wanita.

Pada sub-bab terakhir, penulis bercerita tentang lazimnya masyarakat memperingati hari Kartiini di bulan April, pendidikan seputar Kartini, dan berbagai aspeknya.

Di sini, penulis bercerita tentang Neneknya sendiri, H. Siti Masyitoh. Ia bercerita bahwa neneknya tidak menempuh pendidikan formal yang dibuat Belanda, karena itu dia tidak bisa menulis huruf Latin, tetapi sepanjang hidupnya ia mengajar dan mendirikan sekolah dasar Islam di beberapa tempat dengan harta yang dimilikinya. Sekolah-sekolah tersebut hingga kini masih ada dan diteruskan oleh anak-anak dan cucu-cucunya.

Penulis bercerita bagaimana bahwa neneknya susahnya mendirikan sekolah-sekolah tersebut, menghadapi berbagai tantanagan, tetapi ia berjalan terus dengan penuh keyakinan dan keberanian. Semangat untuk mencerdaskan orang-orang di sekitarnya adalah semangat yang tak pernah padam hingga menjelang wafatnya pada tahun 2000.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun