Mohon tunggu...
Rifqi Rahman
Rifqi Rahman Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Self-Sufficient

Selanjutnya

Tutup

Book

Islam, Kepemimpinan Perempuan, dan Seksualitas

30 Oktober 2020   19:33 Diperbarui: 25 Juni 2022   19:19 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Book. Sumber ilustrasi: Freepik

Buku Islam, Kepemimpinan Perempuan, dan Seksualitas merupakan karya dari Dr. Neng Dara Affiah M.Si. Beliau adalah salah satu dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang mengajar di program studi Sosiologi dengan mata kuliah Teori Sosiologi Modern. Di dalam buku ini terdapat tiga bab di antaranya:

a) bab pertama, membahas Islam dan Kepemimpinan Perempuan,

b) bab kedua, membahas Islam dan Seksualitas Perempuan, dan

c) bab terakhir, membahas Perempuan, Islam, dan Negara

Pada bab pertama, penulis membahas Islam dan Kepemimpinan Perempuan. Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali kita mendegarkan tentang perempuan menjadi seorang pemimpin, baik dalam pemerintahan maupun non-pemerintahan. Hal ini mengakibatkan adanya pro dan kontra di masyarakat kita. Padahal, baik laki-laki atau perempuan memiliki hak yang sama untuk menjadi pemimpin. Salah satu ajaran Islam adalah memandang manusia secara setara dengan tidak membeda-bedakannya berdasarkan kelas sosial, ras, dan jenis kelamin.

Dalam Islam, yang membedakan seseorang dengan yang lain adalah kualitas ketakwaannya, kebaikan selama hidup, dan warisan amal baik yang ditinggalkan setelah ia meninggal (Al-Hujurat: 13). Ayat ini menjelaskan bahwa seseorang dibedakan dari kualitas ketakwaannya, kebaikannya, dan amal baik yang ditinggalkan. Maka dari itu, siapa pun bisa menjadi pemimpin, tidak memandang apakah dia laki-laki atau perempuan.

Meski begitu, masih banyak orang yang percaya bahwa laki-laki harus memimpin, perempuan tidak boleh. Memang pada dasarnya laki-laki digambarkan sebagai seorang yang kuat dan berani, sedangkan perempuan adalah seorang yang sangat berperasaan, penyayang, dan sosok yang lemah lembut. Sehingga ada stigma yang mengatakan bahwa laki-laki yang mencari nafkah, istri hanya di rumah. Padahal, hal itu tidak menghalangi perempuan untuk bekerja di luar rumah. Seperti sekarang ini, banyak perempuan yang memutuskan untuk menjadi pengacara, dokter, guru, dan lain-lain. Hal ini membuktikan bahwa perempuan bisa untuk tidak bekerja hanya di rumah.

Dalam surah Al-Baqarah: 30, Allah menciptakan manusia, laki-laki dan perempuan, untuk menjadi pemimpin. Pemimpin di sini bermakna luas. Bisa pemimpin pemerintahan, pemimpin pendidikan, pemimpin keluarga, dan pemimpin atas diri sendiri. Namun, yang jauh lebih penting adalah bahwa manusia memiliki tanggung jawab yang harus dilaksanakan dengan penuh amanah. Sebagaimana hadis Nabi: "Masing-masing kamu adalah pemimpin. "Dan masing-masing kamu bertanggung jawab atas yang dipimpinnya" (Hadis Riwayat Ibnu Abbas).

Salah satu ayat yang dijadikan laki-laki untuk menolak kepemimpinan perempuan adalah ayat: "Laki-laki adalah qawwam dan bertanggung jawab terhadap kaum perempuan" (An-Nisa: 34). Yang menjadi pangkal perdebatan adalah kata qawwam. Para ahli tafsir klasik dan tafsir modern mengartikan ini sebagai: penanggung jawab, memiliki kekuasaan atau wewenang untuk mendidik perempuan, pemimpin, menjaga sepenuhnya secara fisik dan moral, penguasa, yang memiliki kelebihan atas yang lain, dan pria menjadi pengelola masalah-masalah perempuan.

Dari pemakanaan di atas, jelas bahwa laki-laki ditempatkan di posisi yang superior dan perempuan di posisi yang inferior. Laki-laki pada umumnya dianggap memiliki kelebihan penalaran, tekad yang kuat, keteguhan, kekuatan, kemampuan penulisan, dan keberanian. Dari pemahaman tersebut bahwa Allah telah memberikan kelebihan pada yang satu atas yang lain. Menurut beberapa ahli tafsir berprespektif feminis, itu bersifat relatif, tergantung kualitas masing-masing individu, bukan karena sifat gendernya. Karena itu penafsiran laki-laki tersebut harus ditafsirkan lagi.

Fazlur Rahman menafsirkan bahwa kelebihan tersebut bukan bersifat hakiki, melainkan fungsional. Artinya, jika seorang istri di bidang ekonomi dapat berdiri sendiri, baik dari warisan maupun karena usaha sendiri dan memberikan sumangan bagi kepentingan rumah tangganya. Maka, keunggulan laki-laki berkurang karena sebagai manusia tidak memiliki keunggulan atas perempuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun