Mohon tunggu...
Rifky Julio
Rifky Julio Mohon Tunggu... Lainnya - Fresh Graduate (Baca: Penggangguran)

Sekedar menulis apa yang ingin ditulis. Antropologi | Anime | Daily Life | Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Pancasila dan Generasi Z

1 Juni 2021   10:35 Diperbarui: 1 Juni 2021   11:11 923
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Logo Hari Lahir Pancasila 2021 (bpip.go.id)

Generasi Z yang notabene sangat dekat dengan teknologi justru melupakan pedoman negaranya sendiri. Berbeda dengan Generasi Y atau sebelumnya yang bisa dikatakan sangat melekat pemikiran Pancasila-nya. Meskipun pada zaman mereka kehidupan demokrasinya jauh dari kata sempurna, bisa dibilang pemerintah saat itu sukses menanamkan pemahaman soal Pancasila, setidaknya lebih dari generasi saat ini.

Tahun 2018, Kuriniawan dan Garnesia dari tirto.id melakukan riset terhadap generasi Z dengan rentang umur 17-20 tahun mengenai Pancasila. Hasil menunjukkan, 33,74% responden yang mampu menyebutkan teks dan lambang Pancasila dengan benar. Responden rata-rata memberikan jawaban yang benar saat menyebutkan sila-sila Pancasila secara berurutan. Sayangnya untuk urusan lambang masing-masing sila banyak melakukan kesalahan. Kesalahan sepele seperti itu menegaskan bahwa Pendidikan Pancasila masih kurang melekat pada generasi Z.

Reformasi yang dilakukan oleh para pendahulu menjadi terasa stagnan perkembangannya. Bukan sepenuhnya kesalahan pada generasi Z, karena semua tanggung jawab ada pada setiap rakyat, bukan hanya pada generasi Z. 

Bahkan setelah reformasi, isu-isu berkaitan dengan persatuan dan integrasi bangsa justru bermunculan. Hal ini berawal dari munculnya pernyataan bahwa kebebasan telah dicapai dan setiap individu dapat menyuarakan pendapatnya.

Sayangnya, kebebasan itu malah menjadi sebuah bumerang dan berbuah masalah. Ini bisa terlihat dari salah satu kasus yang belum lama ini menjadi perbincangan banyak pihak, khususnya generasi Z.

Kilas Balik Kasus Haringga Sirla

Adalah kasus terbunuhnya salah satu anggota pendukung tim sepakbola Persija Jakarta berjuluk Jakmania, bernama Haringga Sirla. Dilansir dari Liputan6.com, pemuda asal Cengkareng, Jakarta Barat, itu dianiaya oleh kelompok Bobotoh yang mendukung tim rival Persib Bandung. Bobotoh yang melakukan sweeping di stasiun Bandung mengincar Haringga karena kedapatan membawa kartu anggota Jakmania. Tragedi yang terjadi pada 23 September 2018 silam itu merupakan kelanjutan dari sekian pembunuhan suporter tim sepakbola di Tanah Air.

Dalam rentang tahun 2012-2018 tercatat sudah 47 orang suporter kehilangan nyawa. Untuk tahun 2018 saja tercatat tujuh orang termasuk Haringga yang terbunuh, dan yang membuat geleng-geleng kepala adalah lima dari tujuh korban berumur 16-23 tahun. Itu artinya generasi Z mayoritas menjadi korban. Tak hanya menjadi korban, para pelaku juga termasuk dari generasi Z.

Bukan maksud penulis mengharuskan generasi Z menjadi sempurna dan suci, tapi setidaknya generasi inilah yang sedang merangkul masa depan Indonesia. Bagaimana Indonesia nantinya jika generasi mudanya saja tidak bersatu dan sampai membunuh satu sama lain hanya karena perbedaan warna pakaian dan tim yang didukung. Sudah jelas-jelas dalam Pancasila sila kedua diajarkan bahwa kita sebagai bangsa Indonesia harus memiliki rasa kemanusiaan yang adil dan beradab. 

Kemudian sila ketiga yang berbunyi, "Persatuan Indonesia", tidak tercermin sama sekali oleh apa yang dilakukan sekelompok oknum suporter tersebut. Kasus seperti inilah yang akan menjadi pekerjaan rumah bagi generasi Z dan juga menjadi tantangan Pancasila sebagai pedoman hidup bangsa Indonesia.

Hoaks: Musuh Lain yang Menggerogoti

Kasus lain yang menjadi tantangan Pancasila saat ini adalah munculnya hoaks di media sosial. Lagi-lagi generasi Z menjadi korban dan mungkin sekaligus pelaku. Di masa menjelang pilpres yang akan diadakan tahun depan, hoaks masih merajalela di media sosial yang dominan digunakan oleh generasi Z. Berdasarkan data dari Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), selama September 2018 total 86 berita hoaks bermunculan, dengan 52 berita bermuatan politik.

Bila dianalisis, berita-berita hoaks itu bermunculan untuk mengacaukan pemikiran politik para pemilih terhadap kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden Jokowi-Ma'ruf Amin dan Prabowo-Sandiaga. Dengan menilik kenyataan bahwa media sosial didominasi oleh generasi Z, para penyebar hoaks berharap bisa mendapatkan suara untuk masing-masing pasangan pilihannya. Pertanyaannya, bagaimana cara kita mengetahui berita-berita itu adalah hoaks?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun