Mohon tunggu...
Rifky Kristiawan
Rifky Kristiawan Mohon Tunggu... Penulis - Pengangguran

nama: rifky Kristiawan, Hobi bermain: Tennis meja, Agama: Kristen

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Toraja Aokigahara, Catatan Pilu Untuk Toraja Ku

7 Februari 2021   11:46 Diperbarui: 7 Februari 2021   11:51 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Manusia  terlahir dengan cara yang sama namun mati dengan cara yang berbeda.

Akhir-akhir ini Toraja seperti telah berubah menjadi hutan Aokigahara, tempat orang-orang yang sedang bercanda dengan kematian berkumpul. Fenomena bunuh diri ini, menjadi alternatif bagi sebagian orang dalam menyelesaikan masalah yang mereka hadapi.

Dilansir dari TRIBUNNEWS.COM, sebanyak 30 warga Tana Toraja dan Toraja Utara meninggal dunia akibat bunuh diri sepanjang tahun 2020. 14 diantaranya terjadi di Tana Toraja, sementara 16 kasus lainnya di Toraja Utara.

Diawal tahun 2021, kasus bunuh kembali terjadi dibeberapa daerah di Toraja. Salah satunya ialah kasus bunuh diri yang dilakukan oleh sepasang kekasih di Toraja Utara baru-baru ini, minggu (31/1/2021).

Secara nalar universal bunuh diri merupakan tindakan menyimpang dan tidak dibenarkan dalam ajaran apapun itu. Lantas, apa yang menyebabkan fenomena bunuh diri ini terjadi? Dalam teorinya Emile Durkheim mengemukakan bahwa yang menjadi penyebab bunuh diri ialah pengaruh dari “Integrasi Sosial”. Dalam hal ini, Emile ingin menjelaskan bahwa fenomena bunuh diri awal kronologinya selalu disebabkan oleh permasalahan yang dimiliki si individu dalam kehidupan sosialnya. Misalnya saja permasalahan dengan keluarga, kelompok, teman kerja, teman sekolah, pacar, perekonomian dan aspek sosial lainnya.

Menurut data yang saya peroleh, dari beberapa kasus bunuh diri di Toraja sebagian besar terjadi karena menyoal tentang masalah percintaan dan perekonomian. Dua hal tersebut diduga menjadi motif dari sebagian besar fenomena bunuh diri yang ada di Toraja. Aspek-aspek sosial seperti itulah yang kemudian menimbulkan gangguan kejiwaan (psikis) pada beberapa individu (baca: masalah/gejala).

Fenomena bunuh diri dari perspektif sosiologi lebih menekankan pada polarisasi dalam integrasi sosial. Dalam hal ini, Bunuh diri merupakan fakta sosial dimana peristiwa tersebut terjadi dalam berbagai lapaisan masyarakat. Gejala-gejala yang nampak berada pada gejala sosial bukan gejala individu. Dampak dari hubungan sosial dalam masyarakatlah yang kemudian berperan aktif bagi perkembangan psikis setiap individu.

Selanjutnya, menurunnya kesadaran kolektif (Collective Consciousness) akan nilai-nilai panduan dalam bermasyarakat. Emile dalam teorinya menyebut hal ini sebagai Anomie, yaitu keadaan dimana nilai dan norma dalam masyarakat tetap ada, namun tidak lagi berfungsi  untuk menjadi standar dan pedoman dalam bertingkah laku.

Dengan demikian, fenomena bunuh diri harusnya menjadi catatan penting untuk semua masyarakat Toraja. Institusi-institusi primer seperti keluarga, agama, dan sekolah-sekolah serta lainnya, harus terus mengevaluasi diri dan terus aktif dalam menjalankan perannya sebagai agen yang selalu memberikan kebutuhan sosial dan psikologis.

Karena pada dasarnya, manusia adalah makhluk sosial. Makhluk yang akan selalu membutuhkan orang lain dalam kehidupannya. Setiap tindakan yang dilakukan selalu berhungan dengan orang-orang di sekitar.

STOP BERCANDA DENGAN KEMATIAN

Yakinlah bahwa hidupmu sangat berarti, untuk itu jangan menyia-nyiakan apa yang telah Tuhan berikan kepadamu..!!!!!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun