Mohon tunggu...
Rifki Feriandi
Rifki Feriandi Mohon Tunggu... Relawan - Open minded, easy going,

telat daki.... telat jalan-jalan.... tapi enjoy the life sajah...

Selanjutnya

Tutup

Trip

Uniknya Rumah Betang dan Nenek Penganyam Tikar Berusia 100 tahun

10 November 2018   15:16 Diperbarui: 10 November 2018   15:22 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dengan tatapan aneh anak kecil, penulis berpose di depan Rumah Betang (Foto: Rifki Feriandi)


Bingung mengisi Libur Akhir Tahun? Bosen Libur Awal Tahun ke Tempat Wisatamainstream? Gak usah ke luar negeri. Wisata Indonesia saja.  Indonesia itu indah. Ya alamnya, ya kulinernya, ya keramahannya, ya budaya dan adatnya. Apalagi wisatanya yang tidak biasa. Wisata interaksi sosial, wisata interaksi personal. Akan lama terkenang.

Itu yang saya alami. Pegipegi a.k.a jalan-jalan yang selalu terkenang. Di long weekend saat itu. Tahun 2015.

Mataso, sebuah awal menuju Desa Menua Sadap

Ornamen tradisional di sudut Dusun Sadap [Foto: Rifki Feriandi]
Ornamen tradisional di sudut Dusun Sadap [Foto: Rifki Feriandi]
Tujuan utama perjalanan lima hari itu adalah bekerja sebagai relawan di acara komunitas sosial 1n3b dalam bentuk pendirian rumah baca di satu dusun persilangan komunitas tiga etnis Dayak. Lokasinya di Desa Mataso, Kapuas Hulu, Kalimantan Utara. Taman Nasional Betung Kerihun.

Desa ini saat itu dicapai dengan pesawat dari Jakarta-Pontianak disambung Pontianak-Putussibau. Pesawat menuju Putussibau tersedia tiap hari. Jangan khawatir. Cek saja Pegipegi.com.

Dari Putussibau, kita menggunakan moda roda empat. Meski ada angkutan bis umum, karena mengangkut logistik dan rombongan, maka saya menggunakan mobil carteran.

Rumah Betang itu

Hari ketiga, sehari setelah acara relawan selesai, kami lalu menuju Desa Menua Sadap. Tidak terlalu jauh sih dari Mataso dengan kendaraan roda empat. Tujuannya sebenarnya adalah ke tempat perahu panjang tertambat. Tetapi, kami mampir ke tempat tinggal pemandu kami, Jang Umpor. Ternyata dia tinggal di Rumah Betang.

Tumpukan kayu bakar yang akan disimpan di kolong | Foto: Rifki Feriandi
Tumpukan kayu bakar yang akan disimpan di kolong | Foto: Rifki Feriandi
Rumah Betang adalah rumah tradisional suku Dayak. Disebut juga sebagai rumah panjang, karena memang bentuknya yang panjang. Sepintas rumah itu seperti beberapa rumah terpisah yang saling menempel. Seperti perumahan kopel gitu.

Rumah Betang yang dikunjungi adalah rumah keluarga yang ditempati masyarakat. Bukan rumah yang dibuat khusus untuk wisata. Jadi bentuknya pun sederhana sekali. Berdinding papan beratap seng. Yang menarik saat pertama kali melihat adalah rumah ini bergaya panggung, dengan tangga kayu kecil. Di bawah panggung itu digunakan sebagai tempan menyimpan kayu bakar. Beberapa kali terlihat anjing-anjing hilir mudik di bawahnya.

Teras yang tanpa sekat, membuat menyatu | Foto: Rifki Feriandi
Teras yang tanpa sekat, membuat menyatu | Foto: Rifki Feriandi
Saat menaiki tangga, saya dibuat kaget. Karena, rumah ini unik. Memiliki teras yang tidak bersekat. Dari 'rumah' di ujung sini sampai 'rumah' di ujung sana. 'Rumah' dalam tanda kutip adalah bentuk atapnya yang seperti rumah terpisah. Ada sekitar lebih dari sepuluh 'rumah' dalam Rumah Betang ini. Di atas teras itu terlihat ada kursi panjang (dipan) dan sejenisnya. Beberapa ibu terlihat menggendong anak-anak bayinya sedang berkumpul. Mereka menyapa ramah, meski mungkin ada rasa heran dengan kedatangan kita.

Ruangan dalam yang panjang juga tanpa sekat, membuat penghuni dan tamu merasa dekat | Foto: Rifki Feriandi
Ruangan dalam yang panjang juga tanpa sekat, membuat penghuni dan tamu merasa dekat | Foto: Rifki Feriandi
Keunikan tambah terlihat ketika kami memasuki ruangan dalam. Ruangan pertama yang kami jejaki ternyata panjang tanpa sekat, dari ujung ke ujung. Terlihat seperti lorong luas. Dengan ruangan luas itu, memungkinkan para penghuni untuk intens berkumpul sesama 'tetangga', bahkan saat cuaca tidak bagus di luar, misalnya hujan besar. Ruangan itu tidak berfunitur. Tapi terus terang, kesannya justru hangat dan akrab dengan duduk lesehan di lantai atau dialasi tikar.  

Serunya wisata ini adalah interaksi dengan warga lokal dengan membawa kebiasaan masing-masing. Indonesia memang kaya | Foto: Rifki Feriandi
Serunya wisata ini adalah interaksi dengan warga lokal dengan membawa kebiasaan masing-masing. Indonesia memang kaya | Foto: Rifki Feriandi
Di lantai papan itulah kami menghabiskan waktu mengobrol bersama dengan beberapa penghuni rumah, tua muda, tentang adat, budaya, kebiasaan dan segala hal yang menarik. Rileks banget. Dan terasa banget keramahan mereka. Apalagi obrolan itu mereka sambi dengan menenun, sementara yang lain menggoyang-goyang ayunan bayinya.

Acara melihat tikar buatan penghuni Rumah Betang, termasuk dicoba sebagai sejadah oleh teman yang terlihat bersujud. Hangat. Seru | Foto: Rifki Feriandi
Acara melihat tikar buatan penghuni Rumah Betang, termasuk dicoba sebagai sejadah oleh teman yang terlihat bersujud. Hangat. Seru | Foto: Rifki Feriandi
Rumah dalam rumah

Dari ruangan ini kita bisa melihat 'rumah' sebenarnya. 'Rumah' yang adalah ruangan keluarga dengan privasinya masing-masing. Dengan ornamen khas dan sangat menarik yang berbeda-beda, kita bisa sedikit menebak ini pintu-jendela penghuni satu dan lainnya. Sayangnya, pintu dan jendela banyak yang tertutup jadi tidak bisa melihat seperti apa bagian dalamnya. Bisa sih sedikit mengintip biar tidak penasaran.

Ornamen tradisional dari salah satu
Ornamen tradisional dari salah satu
Namun, tanpa diduga Jang Umpor justru mengajak kami melihat-lihat dalam rumahnya. Ya, salah satu 'rumah' itu adalah rumah staf Kehutanan yang menjadi pemandu kami itu. Saya dibuat kaget lagi. Ternyata ruangan di balik pintu masing-masing 'rumah' itu cukup besar dan panjang ke dalam. Ada ruangan tamu yang menyatu dengan kamar tidur, ada dapur dan kamar mandi dan toilet jongkok. Ketika melihat dengan kayu bakar, ingatan lalu melayang ke jaman dahulu. Beuh, nostalgia.

Salah satu sudut
Salah satu sudut
Jang Umpor banyak menjelaskan keunikan Rumah Betang ini. Termasuk cerita jaman dahulu ketika masyarakat belum mengenal toilet. Bagaimana masyarakat yang kebelet buang air besar harus ke turun ke bagian belakang rumahnya yang biasanya menjadi kandang babi. Jadi mereka menyelesaikan hajat itu di kandang babinya. Lucu ketika dia menceritakan kelucuan bagaimana tangan dia harus selalu menghalau babi-babi agar tidak mendekat.

Jang Umpor dan istri memperlihatkan lorong menuju beberapa ruangan | Foto: RifkI Feriandi
Jang Umpor dan istri memperlihatkan lorong menuju beberapa ruangan | Foto: RifkI Feriandi
Lalu kami diajak masuk ke beberapa 'rumah' saudaranya untuk melihat seberapa besar 'rumah' itu dalam bentuk rangka bangunan yang belum jadi. Besar loh ruangan itu. Tidak salah, kalau saya sebut Rumah Betang itu adalah rumah dalam rumah.

Kain tenun Dayak Embaloh buatan tangan sendiri

Suasana santai ketika salah satu rekan mencoba kain buatan penghuni Rumah Betang | Foto: Rifki Feriandi
Suasana santai ketika salah satu rekan mencoba kain buatan penghuni Rumah Betang | Foto: Rifki Feriandi
Secara spesial kami diajak masuk ke rumah tetangga Jang Umpor. Si Ibu paruh baya inu ingin memperlihatkan dalam rumahnya yang lega dan rapi. Namun dia juga ingin memperlihatkan hasil karyanya. Kain tenun khas Dayak Embaloh. Dikerjakan tangan sendiri. Ya sudah, jadilah kita berlama-lama di rumahnya. Soalnya beberapa teman ternyata penggila tenun etnis. Tenun-tenun itu dominan berwarna merah, khas dengan berbagai bentuk motif. Halus. Sayangnya, saya hanya menikmati obrolan dan transaksi saja. Saya tidak begitu ngefans, sebatas menyukai. Menyukai kan tidak harus memiliki. Eaaa...

Para perajin beserta seorang teman (kiri) | Foto: Rifki Feriandi
Para perajin beserta seorang teman (kiri) | Foto: Rifki Feriandi
Nenek penganyam tikar berusia 100 tahun

Penulis dan tikar yang dibeli bersama perajinnya, nenek 100 tahun | Foto: Rifki Feriandi
Penulis dan tikar yang dibeli bersama perajinnya, nenek 100 tahun | Foto: Rifki Feriandi
Ketika di sudut rumah terlihat gulungan tikar, iseng saya lihat-lihat. Eh, ternyata tikar-tikar bambu itu hasil buatan sendiri juga. Lalu, tikar itu dibawa keluar. Sederhana cenderung biasa sih motifnya. Gak aneh-aneh. Tapi menarik sekali. Ada satu yang salur-salurnya menarik banget. Melihat saya tertarik, si Ibu paruh baya tadi memanggil pembuat tikar itu. Seorang nenek tua yang sudah bongkok. Usianya di atas 90an, tidak ingat lagi saya. Saya sebut saja usia 100 tahun saking tuanya. Dan akhirnya, suasana menjadi lebih hangat karena saya jadi lebih tertarik dengan menggali lebih dalam cerita mereka.

Tanda tangan si Nenek, Perajin TIkar Dayak Embaloh. Priceless | Foto: Rifki Feriandi
Tanda tangan si Nenek, Perajin TIkar Dayak Embaloh. Priceless | Foto: Rifki Feriandi
Akhirnya saya putuskan membeli tikar itu sebagai kenangan tidak terlupakan. Tikar asli hasil perajin Dayak Embaloh. Ditandatangani - hehehe - oleh perajinnya: seorang nenek berusia 100 tahun yang tidak berkurang semangatnya berkarya.

Tikar yang kemudian menjadi penghias cantik salah satu dinding kamar.

Turun ke sungai, menuju gunung dan lalu danau

Waktu serasa pendek. Ternyata kita sudah terlalu lama berada di Rumah Betang sederhana itu. Betah. Dengan keunikannya. Dengan ruangan leganya. Dengan keramahannya. Dengan penerimaannya. Dan dengan ...tikar bambunya.

Perahu panjang yang membawa kami ke hulu sungai | Foto: Rifki Feriandi
Perahu panjang yang membawa kami ke hulu sungai | Foto: Rifki Feriandi
Saatnya kita lanjutkan perjalanan. Menunju sungai. Menuju gunung. Menuju danau.

Ya. Kunjungan ke Rumah Betang adalah kunjungan antara. Karena kami akan mengunjungi dua obyek wisata yang jarang dikunjungi. Menyusuri Sungai Kapuas dengan perahu kecil panjang menuju hulu Pegunungan Betung Kerihun, berkemping di kelebatan hutan di pinggir sungau, mampir di air terjun tak terjamah. Dan nanti berakhir di Danau Sentarum. Ceritanya di sini.

Cerminan hampir sempurna perkampungan di Bukit Tekenang, Danau Sentarum | Foto: Rifki Feriandi
Cerminan hampir sempurna perkampungan di Bukit Tekenang, Danau Sentarum | Foto: Rifki Feriandi
Ah, pengalaman perjalanan tak terlupakan.

Ini adalah perjalanan terseru saya. Seru, karena tidak menyangka saya bias mengunjungi sebuah rumah tradisional sederhana namun sarat makna nun di sebuah daerah pedalaman di Indonesia. Destinasi wisata yang tidak terlalu popular namun penuh potensi.. Apalagi berjumpa dengan masyarakat yang ramah dan penuh keahlian. Seru juga karena kesempatan langka. Siapa coba yang bisa mendapatkan kerajinan yang dibuat oleh seorang nenek berusia 100 tahun? Dan seru, karena Pegipegi atau jalan-jalan ke Rumah Betang ini menjadi awal saya berkativitas relawan sekalian jalan-jalan ke tempat wisata yang menarik tapi belum terlalu popular.

Oh ya, sekedar tips. Perjalanan akan sangat menyenangkan jika didampingi pemandu orang asli Dayak yang juga staf Kehutanan, sehingga bisa menggali cerita yang banyak tentang adat, budaya dan hal menarik lainnya serta tahu tentang lokasi yang dikunjungi. Informasi dari Taman Nasional Betung Kerihun akan sangat membantu.

Mengenai waktu, saya lebih menyukai liburan yang tidak terlalu rame, jadi lebih terasa liburannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun