Mohon tunggu...
Rifat Aldina
Rifat Aldina Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Rimbawan Indonesia twitter:@rifataldn

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Masa Depan Bisnis Kelapa Sawit Indonesia, Sebuah Equilibrium Baru?

7 Juli 2018   09:30 Diperbarui: 7 Juli 2018   15:08 8908
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemandangan yang sudah menjadi lumrah saat terbang menuju Ketapang melalui Pontianak, ketika sebelum pesawat mendarat, terpapar luas hamparan hijau tumbuhan yang tertata rapi. Jarak tanamnya kira-kira 3 meter antartumbuhan. Setelah mendarat, semua jelas bahwa hamparan itu adalah kebun kelapa sawit. Kelapa sawit bisa kita temukan di hampir seluruh daerah di Indonesia terutama di daerah Sumatera, Kalimantan, dan sebagian Papua.

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi

Kelapa sawit sebagai komoditas pertanian, sering mendapatkan label buruk dikarenakan tumbuhan ini mengancam keberadaan hutan khususnya di Indonesia. Tidak sedikit NGO yang bersuara keras terhadap laju perkembangan kelapa sawit Indonesia. Tidak lestarinya pengelolaan seperti pembukaan lahan dengan cara membakar dan penanaman di atas lahan gambut menjadi isu yang sangat krusial.

Selain itu, transparansi juga menjadi salah satu masalah yang berusaha untuk dipreteli oleh para aktivits-aktivis lingkungan. Mulai dari perolehan izin, status kawasan, hingga hubungan perusahaan kelapa sawit dengan masyarakat. Untuk yang terakhir, beberapa kebijakan kemitraan dengan masyarakat bukan sesuatu yang asing lagi dilakukan oleh perusahaan sebagai bagian dari kebijakan yang diterapkan perihal pemberdayaan masyarakat seperti program petani plasma dan masih banyak lagi. Namun, masih banyak hal yang harus dibenahi dari pembangunan kelapa sawit Indonesia.

Dalang bencana alam?
Masih segar dalam pikiran saya ketika dosen kebakaran hutan di tempat saya kuliah dulu menceritakan tentang kebakaran hutan hebat tahun 1997 dan berlangsung hingga tahun 1998 dengan tujuan untuk membuka lahan. Asapnya sampai ke negara tetangga. Lalu terjadi lagi di tahun-tahun selanjutnya hingga saat saya menyelesaikan kuliah pada tahun 2015, terjadi kebakaran hebat di Indonesia yang menjadi fokus pemerintahan saat itu. 

Pemberitaan diramaikan dengan pembahasan kebakaran hutan. Kebakaran hutan sedang merayakan ulang tahunnya (hal ini karena setiap tahun terjadi kebakaran hutan). Yang menarik dalam kebakaran hutan saat itu, pemerintah menetapkan ada 23 perusahaan ditetapkan sebagai pembakar hutan (baca: "Perusahaan Pembakar Hutan yang Dijatuhi Sanksi oleh Pemerintah")

Sanksi yang dijatuhkan mulai dari pencabutan hak usaha, pencabutan izin lingkungan, hingga pembekuan izin. Pembukaan lahan dengan cara membakar dinilai sangat murah dan efektif untuk selanjutnya ditanami tumbuhan dan salah satu yang menjadi primadona saat itu hingga saat ini adalah kelapa sawit. Hal ini pun terulang lagi satu tahun setelahnya. 

Namun, yang menggelitik adalah kepolisian RI menerbitkan SP3 atas kasus kebakaran hutan yang melibakan 15 perusahaan. Padahal pola yang dilakukan sama, baik perseorangan maupun korporasi.

Dikarenakan beberapa hal yang sudah disebutkan di atas, kelapa sawit sebagai komoditas "suci" yang menguntungkan, mendapat perhatian dunia. Kelapa sawit dianggap sebagai komoditas paling berdampak buruk bagi lingkungan dan biodiversitas Indonesia. 

Rasanya terlalu berlebih jika masyarakat Indonesia tidak dihadapkan kepada kenyataan bahwa kelapa sawit bukan satu-satunya penyebab degradasi lingkungan di Indonesia. Masih ada sektor lain seperti pertambangan contohnya. Lalu apa kabar pertambangan Indonesia?

Pengelolaan bertanggung jawab
Para aktor dalam pengembangan kelapa sawit sadar bahwa perspektif global terhadap kelapa sawit menentukan masa depan komoditas ini. RSPO atau Roundtable for Sustainable Palm Oil sebagai lembaga sertifikasi kelapa sawit secara berkala merevisi prinsip dan kriteria dalam pelaksanaan kegiatan usaha kelapa sawit berkelanjutan. Semua masalah lingkungan dan sosial tercakup dalam prinsip dan kriteria tersebut. 

Walaupun pada kenyataannya, tetap saja kita sulit untuk menemukan produk kelapa sawit yang sudah bersertifikat. Terlepas dari hal itu, dengan hadirnya lembaga sertifikasi ini untuk mengintervensi kebijakan kegiatan perkebunan kelapa sawit menjadi satu langkah teknis untuk menjaga kelestarian lingkungan. Selain itu, pada prinsip dan kriteria yang diterbitkan RSPO, masyarakat terdampak juga menjadi tanggung jawab perusahaan. 

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
Prinsip konservasi yang dituangkan dalam Nilai Konservasi Tinggi bertujuan untuk menjaga kelestarian lingkungan dan sosial, mulai dari biodiversitas, ekosistem, hingga kelangsungan penghidupan masyarakat. Tersisa regulasi mengenai penanaman di atas lahan gambut. Lahan gambut sebagai struktur tanah unik yang berfungsi sebagai penampung air saat musim penghujan dan menjadi cadangan air saat musim kemarau perlu dipelihara. 

Dengan keunikan strukturnya pula, lahan gambut sangat rentan terbakar, terlebih lagi, sawit merupakan tanaman yang rakus air. Banyak kasus tercatat dari desa yang gambutnya ditanami kelapa sawit, desa tersebut mengalami krisis air. Penanaman di atas lahan gambut is a no go!

Langkah dan inisiatif dari semua pemangku kepentingan dan willingness dari perusahaan untuk berkolaborasi dan berkompromi membawa angin baru untuk terwujudnya equilibrium baru kebermanfaatan lingkungan. Perlu kita sadari bahwa kualitas jasa yang diberikan lingkungan terhadap makhluk hidup tidak setinggi jaman dulu. 

Kita tidak bisa naif untuk tidak mendukung keberlangsungan usaha tanaman yang berasal dari Amerika Selatan ini. Harus kita sadari bahwa dengan adanya usaha ini, pergerakan ekonomi daerah memperlihatkan perkembangannya. Namun, kita juga harus menjaga dan meningkatkan kesadaran dari pengelolaan sawit yang berkelanjutan dengan menjadi konsumen yang bertanggung jawab pula.

Perihal rencana tata ruang 
Undang-undang 26 tahun 2007 pasal 17 ayat 5 secara jelas menyatakan dalam rencana tata ruang wilayah ditetapkan suatu kawasan hutan paling sedikit 30 persen dari luas daerah aliran sungai yang bertujuan untuk menjaga keseimbangan tata air dan mencegah terjadinya bencana alam seperti banjir, erosi, sedimentasi, dan krisis air. 

Dalam hal ini, pemerintah provinsi dan kabupaten bertanggung jawab langsung untuk menentukan rencana tata ruang wilayah yang akan menjadi dasar pembangunan daerah masing-masing. Namun, dalam perjalanannya, banyak konflik yang terjadi yang tak lain adalah konflik antara kawasan dan konversi kawasan hutan. Politik agraria yang terjadi adalah usaha tarik menarik kepentingan dalam hal penguasaan lahan. Pertarungan antara bisnis dan kelestarian alam.

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
Hal ini menimbulkan dilema dan konflik kepentingan. Mengutip data BPS tahun 2016, kelapa sawit menyumbang sebesar 429 triliun rupiah terhadap PDB nasional dengan kenaikan produktivitas rata-rata dua ton per hektar. Hal ini sangat menggiurkan dan menjadi penggerak ekonomi utama nasional maupun daerah. 

Akibatnya, arah tarik menarik perihal rencana tata ruang lebih memihak kepada pelaku bisnis. Penelitian yang dilakukan oleh UGM pada tahun 2017 tentang rencana tata ruang wilayah provinsi Kalimantan Tengah menyebutkan luas kelapa sawit pada tahun 2010 mencapai 95% dari luas Kalimantan Tengah dan hanya tersisa 700.000 hektar atau sama dengan 5% dari total lahan secara keseluruhan. 

Yang lebih mengejutkan lagi, Kabupaten Kapuas sebagai bagian dari wilayah provinsi Kalimantan Tengah mengeluarkan izin perkebunan, kehutanan, dan pertambangan seluas 1.861.080 hektar, sedangkan luas Kabupaten Kapuas itu sendiri hanyalah 1.499.990 hektar, defisit 361.180 hektar.

Hal ini jelas disebabkan oleh carut-marutnya regulasi dan perencanaan terkait tata ruang wilayah. Miskoordinasi terlihat jelas ditambah dengan rendahnya pengetahuan tentang pembangunan berbasis lingkungan. Kemudian diperparah dengan politik praktis yang terjadi di pelataran birokrasi yang mengharuskan seseorang memutar otak untuk terlihat indah setiap 5 tahun sekali. Ditambah pernyataan dari salah satu guru tentang wacana kelapa sawit sebagai tanaman kehutanan. Anjing menggonggong, musafir berlalu.

Lalu, bagaimana sebaiknya?
Terlepas dari kontribusi yang dihasilkan kelapa sawit terhadap perekonomian Indonesia dari mulai kontribusinya terhadap PDB hingga pembukaan lapangan kerja, masa depan sektor kelapa sawit masih terlihat sangat cerah walaupun banyak tekanan khususnya dari dunia internasional dan sektor perkebunan khususnya kelapa sawit akan terus terhempas oleh angin kritik tentang pengelolaan sektor tersebut. 

Hal ini akan dipermudah oleh birokrasi yang ugal-ugalan. Pemerintah sebagai garda terdepan pelindung lingkungan Indonesia diharapkan menyolidkan komitmennya terhadap pembangunan berbasis lingkungan. Hal ini dituangkan dalam perencanaan tata ruang wilayah nasional, provinsi hingga daerah dan juga paket hukumnya. 

Melalui rencana strategis tersebut, dampak yang ditimbulkan oleh pembangunan tersebut dapat ditoleransi. Tujuan dari pemantapan rencana tata ruang wilayah adalah menghasilkan equilibrium baru terhadap pemanfaatan sumber daya. Walaupun tidak bisa mengembalikan jasa lingkungan yang sudah terhabisi, setidaknya hal ini bisa dipertahankan tingkatan yang masih bisa ditoleransi. Peran pemerintah sangat vital.

Selain pemerintah, masyarakat juga diharapkan untuk meningkatkan kesadaran akan praktik yang bertanggung jawab dimulai dari mengetahui asal-usul produk yang dikonsumsi apakah dari praktik yang bertanggung jawab atau tidak. Walaupun belum ada portal yang menyediakan secara jelas barang apa yang sudah tersertifikasi atau belum, namun perusahaan yang sudah tersertifikasi bisa dilihat di laman RSPO di www.rspo.org. 

Selain itu, masyarakat dari lapisan aktivis NGO dan konsultan diharapkan mengawal perusahaan yang beroperasi di Indonesia agar menjaga stok karbon/hutan tersisa, nilai konservasi tinggi, dan juga masyarakat terdampak. Perusahaan juga diharapkan untuk berkolaborasi dan berkeinginan menghasilkan keseimbangan bagi terciptanya pembangunan berbasis lingkungan. 

Sebagai warga negara, kita masih ingin merasakan jasa lingkungan yang dihasilkan alam Indonesia dan juga pasti mengharapkan anak cucu kita untuk mendapatkan jasa yang sama. Hal ini tidak akan terwujud tanpa adanya kerja sama antara pemerintah pengusaha dan masyarakat luas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun