Mohon tunggu...
Rifan Zaini
Rifan Zaini Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa/ Sekretaris Dema/ Institut Ilmu Keislaman Annuqayah

menulis karya ilmiah

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Urgensi Pengesahan RUU Perampasan Aset Melalui Fungsi Partai Politik Dalam Memberantas Kasus Korupsi

30 Maret 2023   14:01 Diperbarui: 30 Maret 2023   15:37 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Di Negara Indonesia, korupsi laksana virus ebola yang merusak ke segala komunikator politik, baik eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Begitupun dalam bingkai relasi paralel, baik pada pemerintah pusat, pemerintah daerah, serta pemerintahan desa pun tergelincir kasus korupsi. Fenomena maraknya perkembangan korupsi di Indonesia dapat di lihat pada awal dimulainya sekali waktu kemudian merintik-rintik dan akhirnya membunuh masyarakat itu sendiri. Realitanya, pada dasarnya korupsi di Indonesia bersifat sporadis dan sentralistik yang kemudian merebak pada sektor daerah bahkan sampai pada desa. Hanya saja, korupsi di Indonesia bukan virus HIV yang bisa membunuh masyarakat dan hal inilah yang harus kita cegah bersama. 

Fenomena korupsi di Indonesia masih banyak menuai perdebatan, termasuk dalam strategi penangulangannya. Dari tahun ke tahun, kasus korupsi tumbuh berkembang secara massif. Berdasarkan hasil bukti penemuan data di tahun 2004 saja jumlah kasus korupsi yang berhasil ditangani oleh KPK yaitu; 904 kasus  penyuapan, 277 kasus pengadaan jasa, 57 kasus penyalahgunaan anggaran,50 kasus TPPU, 27 kasus pemerasan, 25 kasus perizinan, dan 11 kasus yang merintangi proses KPK.

Yang mencegangkan, dari beberapa korupsi di Indonesia dalam laporan KPK, bahwa tindak pidana korupsi dilakukan oleh instansi pemerintahan kabupaten terdapat 548 kasus di sepanjang 2004 sampai 2022. Kemudian diikuti oleh instansi kementerian dan pemerintah provinsi masing-masing sebanyak 442 kasus dan 174 kasus. Oleh sebab itu, KPK bekerja baik dalam memberantas korupsi dengan memberikan tanda bukti kepada publik sejak tahun 2004 hingga oktober 2022 yang jumlahnya sampai 1.310.

Selama hampir 18 tahun terakhir, KPK paling banyak melakukan tindak pidana pada tahun 2018-an mencapai 199 kasus, dan kasus yang paling rendah pada 2004 hanya 2 kasus. Dalam hal ini kita bisa melihat maraknya korupsi yang ada di Indonesia yang notabene telah tercatat jelas oleh KPK pada tahun 2018 ialah kasus penyuapan mencapai 168 kasus dan diikuti pada tahun 2019 dan 2017 masing-masing sebanyak 119 kasus dan 93 kasus.

Dalam perkataan Deputi Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia, Wawan Suyatmiko dalam pemaparannya di pullman Hotel, Jakarta, Selasa, 31 Januari 2023 mengatakan bahwa Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia mengalami penurunan yang semula sebesar 38 pada 2021 turun 4 skor dan menjadi 34 di Tahun 2022. Dalam konteks peringkat, Indonesia juga mengalami penurunan dari peringkat 96 menjadi peringkat 110.

Melihat realita diatas, dalam memahami korupsi, penulis hanya bisa memberikan satu aforisme bahwa korupsi itu akan selalu tumbuh sumbur manakala para pemimpin politik atau si pembuat kebijakan publik tidak memiliki kehendak dalam berpolitik untuk memimpin pemberantasan korupsi. Kecenderungan inilah yang nampak pada era sekarang, terutama pada rezim pemerintahan. Pengesahan UU KPK yang terus menerus mendapatkan suara keras penolakan  beragam lapisan masyarakat dari akademisi, masyarakat sipil, serta pegiat korupsi menjadi semacam turbulensi semangat pemberantasan korupsi rezim.

Korupsi di Indonesia akan semakin menatkutkan manakala resiko yang di tanggung para koruptor lebih kecil dari pada mamfaat yang diperoleh dari melakukan korupsi. Sederhananya, tida ada efek jerah atas pemidanaan dan pemasyarakatan seseorang narapidana korupsi. mereka yang selama ini di jerat kasus korupsi dan dipenjaran di sel tahanan, mereka masih bisa berpolitik selepas bebas dari penjara, dan masih diterima dalam lingkungan masyarakat. Dengan demikian, penulis mempunyai satu jalan dalam menekankan praktik korupsi ialah dengan memperbesar resiko yang mereka harus tanggung. Kongretnya, resiko yang harus ditanggung mereka harus lebih daripada mamfaat yang diterima saat melakukan korupsi. Salah satu alternatif solusinya ialah melalui pengesahan RUU Perampasan Aset.

Dalam perumusan naskah RUU perampasan aset sebenarnya bukan ide baru, melainkan Undang-undang ini telah dirumuskan sejak tahun 2012 yang diketuai oleh Dr. Ramelan. Namun, realitanya sampai sekarang masih menimbulkan pro-kontra sehingga dengan maraknya korupsi di Indonesia pemerintah dan DPR sama sekali tidak mempriotaskan RUU perampasan Aset. Dengan demikian, walaupun dalam skala waktu sekarang persoalan RUU perampasan Aset ini tidak dijadikan prioritas pada tahun ini, RUU ini menjadi suatu persoalan sangat penting yang akan dibahas oleh DPR dan pemerintah karena hal ini didasarkan pada hak inisiatif. Dalam Undang-undang pada pasal ayat (2) UU Nomor 15 Tahun 2019 menjelaskan tentang Peraturan UU, dalam keadaan tertentu. Nantinya, DPR dan pemerintah dapat mengajukan masuknya RUU dengan dua alasan. Pertama, untuk mengatasi keadaan luar biasa, konflik, atau bencana alam. Kedua, keadaan tertentu yang mengandung urgensi nasional. Diatas telah dijelaskan bahwa Indonesia mengalami penurunan Indeks persepsi korupsi dan tertangkapnya tindak pidana korupsi. Oleh sebab itu, penulis kira dengan memaparkan dua alasan diatas bisa cukup untuk memenuhi " keadaan tertentu yang mengandung urgensi RUU secara  nasional.

Dengan mengesahkan UU Perampasan Aset, maka hal tersebut dapat dijadikan bahan payung hukum untuk merampas aset-aset dari hasil korupsi. Dengan begitu, perlu diingat bahwa politik hukum tindak pidana korupsi di negeri tercinta ini, tidak sekadar memberikan biaya tebusan dan penjaraan, akan tetapi juga hasil guna pengembalian aset negara. Akhir-akhir ini, pengembalian aset negara hanya berupa mengandalkan penjatuhan sanksi tambahan berupa uang pengganti, itupun nominalnya masih jauh dari proporsional.

Pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) perampasan Aset merupakan suatu hal yang sangat penting dalam memberantas korupsi di negeri ini. RUU tersebut tentunya menjadi ruh penting dalam mendukung memberantas korupsi. Pembahasan RUU Perampasan Aset yang terkantung-kantung selama bertahun-tahun jangan ada lagi perkataan DPR menunda pengesahannya,  supaya pejabat publik tidak selalu memamerkan gaya hidup mewah dengan berpenghasilan dari uang negara yang mereka curi. Maka di sini juga perlu memainkan fungsi partai politik sebagai modal penggerak untuk mendorong kader-kadernya yang telah duduk di instansi perwakilan (DPR atau DPRD) maupun presiden dan wakil presiden tidak ada lagi alasan untuk tidak mengesahkan RUU dalam melaksanakan tugasnya. Oleh sebab itu, semangat pemberantasan korupsi (kehendak politik) penguasa dalam hal ini DPR dan Presiden yang akan menentukan bagaimana nasib masa depan pemberantasan korupsi pada sebuah negara. Walluhu A'lam.  

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun