Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Godog

30 April 2017   13:37 Diperbarui: 30 April 2017   15:01 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dia menyerahkan diri sebagai anjing bagi lelaki tinggi besar itu. Menjadi binatang yang harus dihardik, dilecut, meski tak jarang dielus tengkuknya, sehingga si anjing mendengkur halus. Dia bertemu lelaki itu tak sengaja di pembuangan sampah akhir saat dia sibuk mengais sisa-sisa nasi dan tulang-belulang. Sorot mata lelaki itu ramah menatapnya. Sangat bersahabat. “Maukah kau tinggal bersamaku?” tanya lelaki itu. Dia, yang menyerahkan diri sebagai anjing, hanya mengangguk. Tak perlu lagi berkata. Isyarat lebih bermakna daripada kata-kata yang penuh tipu daya.

Setelah mereka tingga bersama, dia baru tahu nama dan kondisi lelaki itu. Nama si lelaki tinggi besar adalah Roxy. Dia masih membujang meski sudah berusia empatpuluh tahun. Tapi tak dapat dipastikan apakah dia masih perjaka atau tidak (sangat mustahil di jaman edan ini lelaki berusia empatpuluh tahun masih perjaka!). Rumahnya di bilangan pinggiran kota. Rumah kecil berukuran enam kali enam meter. Rumah yang memiliki dua kamar, satu ruang tamu, merangkap ruang keluarga, merangkap dapur. Dan satu kamar mandi merangkap kakus. Seperti diceritakan sebelumnya, dia hidup sendirian. Wajarlah tak ada yang mengurus diri serta rumahnya. Pakaiannya beberapa berbau apek dan hampir tak pernah diseterika. Sarang laba-laba saling menjalin di sudut-sudut loteng rumah. Bertumpuk menyeramkan. Siap-siap memerangkap serangga yang lengah.

“Kamu tidur di luar saja, ya!” Roxy berkata seperti itu ketika pertama kali mereka tiba di halaman rumah kecil berhalaman kecil dan gersang itu. Si anjing, yang akhirnya menyebutkan namanya dalam hati adalah Godog, pun tak menolak. Hamba tempatnya memang di luar rumah. Itu sudah mendingan. Ketimbang dia dirantai di dekat pagar halaman. Berpanas dan berhujan. “Apakah aku pelayan yang tanpa harga diri?” geram Godog dalam hati.

Begitulah kedua sahabat itu menjadi akrab. Saling isi. Roxy sangat tahu tabiat Godog, dan apa makanan kesukaannya. Bila Godog kelihatan gelisah di teras rumah sendirian, dia segera mengajaknya berjalan-jalan keliling kota. Membunuh sore katanya (ha, apakah sore  bisa dibunuh?). Di taman kota keduanya berhenti. Roxy membeli sepotong roti. Sebelah dimakannya, sebelah untuk  Godog.

Tapi kebersamaan mereka selalu terganggu aktifitas Roxy yang bejibun. Roxy seorang wartawan kriminalitas di koran kriminal bertiras besar. Maka dia hanya berada di rumah dari jam sebelas malam sampai jam delapan pagi. Kalau sore-sore dia bisa berjalan-jalan bersama Godog, itu karena dia maling waktu sebentar.

Ketika pulang kerja wajahnya selalu kusut. Lunglai tertatih-tatih mendorong motor butut. Namun ketika melihat Godog yang terbangun dari tidur-tidur ayamnya, wajah Roxy seketika cerah, “Kita jalan-jalan lagi, ya!”

Sayang sekali hampir dua hari ini Roxy tak pulang. Godog cemas. Perutnya melilit-lilit karena lapar dan dahaga. Terpaksa dia menikmati makanan sisa di tong sampah depan rumah. Minum air paret yang baunya busuk berasa sepet. Dia ingin masuk mencari makanan dan minuman di dalam rumah, tapi tak bisa. Rumah terkunci rapat. Lagipula saat Roxy pergi dua hari lalu, Godog tak tahu. Dia sedang tertidur nyenyak usai makan siang yang mantap mengenyangkan

Hendak ke mana Godog mengadu? Dia tak mengenal para tetangga Roxy. Mereka semua sama, orang-orang sibuk yang jarang terlihat batang hidungnya. Seandainya Godog ingin menanyakan ke mana perginya Roxy, pastilah hanya dengusan yang keluar dari mulut mereka.

“Hai, orang baru, ya?” Sesosok tubuh masuk ke halaman rumah. Godog yang berbaring, buru-buru berdiri. Sosok di halaman itu kurus-kering. Matanya merah. Bau badannya busuk.

“Bukan orang baru. Aku sudah hampir sebulan di sini,” jawab Godog dengan ramah.

“Kenapa tak pernah kelihatan?” tanyanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun