"Oh, Ayah lupa lagi. Janji, ya, kalau ada uang, bayar roti itu secepatnya."
Omar mulai mengerti, mengapa dia sering menemukan uang receh di sela pintu, ketika dia sedang membuka tokonya.
"Akram ingin ayah makan roti enak. Pemilik toko roti mungkin dermawan. Dia sering memberikan para pengemis roti. Tapi roti itu sisa kemarin, dan hampir sekeras batu. Juga berjamur. Gigi ayah kan tak sanggup memakannya. Lagi pula Akram takut ayah akan sakit perut."
"Hmm, roti ini enak. Jadi pedagang roti memang enak, ya?" Si Ayah mendecap-decap. Â Â
Omar tak sadar meneteskan air mata. Dia perlahan mundur teratur. Dia meninggalkan anak dan ayah yang sedang berbahagia itu.
Sekarang sedang tidak musim panas. Kalau kau kebetulan lewat di depan Toko Bakery Mardin pada senja hari, kau akan menemukan sesuatu yang ganjil. Seorang maling kecil berambut pirang, menjulurkan tangannya ke dalam etalase roti berpenutup plastik, lalu berlari memasuki lorong. Sementara seorang lelaki tambun sedang tidur-tiduran ayam di kursi kerajaannya, seolah tak perduli maling kecil sedang beroperasi.
Supaya kau tahu, toko roti itu tak hanya disenangi para pengemis---karena roti-roti yang mereka dapatkan selalu dalam kondisi open from open, eh, maksudku open from oven alias masih segar---termasuk para pembeli. Tak salah toko roti itu kemudian digelari "King Bakery Mardin". Menurut mereka rasa roti Omar seperti makanan raja-raja.
---sekian---