Aroma kakap membakar penggorengan, bumbu dari langit, dari dasar bumi, menggulir seperti ekar, pertemanan kepala dan ekor, di atas pinggan itu datar, lezat benar genap dan bundar, lautan selera, savana meja makan.
Tak kau lihat cedera bumbu tak sama, nikmat bincang dalam suara sengau, pertemanan terkadang suka, tak jarang luka meja makan, dia tentu saja tak sungkan sumbang aroma, arom kakap tentu saja mahal, di sela pasar amisnya dijual.
Bincang-bincang tentang kakap, asam manis lebih nikmat, goreng garing bersama sejumput terasi, atau pindang kepala kakap.
Rasa tak ada yang abadi, teman terkadang tak sejati, setebal kulit ari, rangkulan menjelma sikutan, mana lebih nikmat berebut meja makan sang kakap, tapi tetap saja ode itu berlaku, tak ada makan siang gratis, apalagi untuk seekor kakap berharga mahal. Tiba-tiba aku ingin pindang teri, sekadar kotori gigi.
Ujung Kata, 1019