Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rahasia

13 Oktober 2019   14:50 Diperbarui: 13 Oktober 2019   14:56 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: nicepik.com

Rumah Pak Sapar hanya selemparan batu dari rumahku. Kami juga bertetangga di pasar. Aku berdagang perlengkapan dapur kering di toko semi permanen. Sedangkan Pak Sapar berjualan beragam sayuran di sebuah lapak kecil yang menyempil di depan tokoku. Dia hanya ada saat kalangan Sabtu. Hari selebihnya dia pindah ke kalangan kampung lain. Itulah sebabnya setiap Sabtu aku selalu bergairah.

Pak Sapar orang yang supel. Anekdot-anekdotnya---entah dicomot dari mana---menyegarkan pikiran yang lagi suntuk.Tapi Sabtu ini batang hidungnya entah ke mana. Aku telah menghabiskan sepiring lontong. Seorang pelapak pun sudah dua kali meminta berjualan di lapak Pak Sapar yang kosong melompong. Kataku, sabar dulu, siapa tahu dia ujug-ujug datang, lalu kecewa melihat sudah ada orang yang mengisi lapaknya. Alasan apa yang harus aku lontarkan?

Hingga pukul sembilan pagi, dia tak pula ada. Akhirnya si pelapak itu tersenyum cerah. Tidak lupa dia mengangsurkan uang tanda terima setelah menempati lapak itu, tapi  aku tolak.

Semakin siang pembeli bertambah berjubel, aku melupakan Pak Sapar. Ketika menikmati kacang rebus di depan tivi, sedikit pun lelaki itu tak melintas di kepalaku. Acara debat membuatku ikut mencak-mencak. Sesekali aku ingin menggebuk tivi. Yang berdebat itu mencla-mencle.

"Eh, ayah sudah pulang." Istri keluar dari dapur. Dia membawa sepiring pecel. Sekejap saja pecel itu berpindah dari piring ke dalam lambung. Aku berdecap-decap kepedesan. Giliran selanjutnya semangkok es kacang merah, pun licin tak berbekas. Aku sendawa berkali-kali. Istri menyindir cara makanku mirip buaya lapar. Aku terbahak.

"Kenyang betul. Rasanya keras perut sudah sama dengan lutut. Bawaannya ngantuk."

"Penyakit! Ayo, mandi sana! Sebentar lagi azan maghrib, Yah." Istri melipat pakaian bertimbun.
Saat aku mandi, tiba-tiba wajah Pak Sapar melintas. Hei, ke mana gerangan lelaki itu? Apa dia sakit? Cepat-cepat aku keluar dari kamar mandi. Istri masih di timbunan pakaian.

"Tumben-tumbenan hari ini Pak Sapar tak jualan," kataku sambil mencabut uban di depan cermin.
"Pak Sapar sedang mengurus surat-surat di Medan."
"Mengurus surat-surat?" Aku terkekeh. "Apakah dia mau jual tanah?"
"Dia bukan jual tanah, tapi mau beli tanah suci. Maksudku Pak Sapar mau berangkat haji." Istri beranjak ke dapur. Aku keleyengan. Mendengar Pak Sapar mau berangkat haji, terselip rasa iri di hati. Aku mendadak pendiam. Di masjid sengaja tak menegur jamaah lain. Selepas Shalat Isya, aku memilih tidur.

Setelah istri mendengkur, malah aku yang tak dapat tidur. Bagaimana mungkin seorang pelapak bisa berangkat haji, sedangkan aku belum? Aku memiliki dua rumah, satunya dikontrakkan. Pak Sapar punya satu, itu pun kecil. Aku mempunyai pick up. Dia hanya sepeda kumbang.
Hitung-hitungan omzet pastilah dia kalah jauh. Seharinya aku bisa mengantongi minimal lima juta. Akan hal Pak Sapar, melewati satu juta saja sudah infus-infusan. Tapi darimana uangnya bisa berangkat haji? Apakah dia pesugihan?
Ya, Allah, mengapa seorang Ikram berpikiran buruk begini? Harusnya aku mensyukuri seorang sahabatku bisa berangkat haji.
Semakin kutenangkan hati, semakin ingin aku mengorek rahasia yang disembunyikan Pak Sapar. Maka setelah dia pulang dari Medan, sengaja aku bertandang ke rumahnya.
"Wah, Pak Ikram kebetulan datang. Aku ada oleh-oleh, nih."
Melihat banyak kerabatnya di ruang tamu, aku menariknya ke teras. Pak Sapar kebingungan melihat tingkahku yang rada aneh.
"Maaf sebelumnya, Pak Sapar. Pertanyaanku ini jangan membuatmu tersinggung. Aku hanya bingung darimana uangmu maka bisa berangkat haji?" Bukannya tersinggung, malahan dia terkekeh sembari menepuk lenganku.
Mulailah dia bercerita, lebih tiga puluh tahun lalu, saat dia mulai menjadi pelapak, sudah dia tekadkan dengan berlapak itu dia bisa berangkat haji. Setiap hari dia menyisihkan lima ribu untuk ongkos naik haji. Sekarang simpanannya sudah lebih dari cukup?
"Lho, berangkat haji kan harus ikut antrian?"
"Seorang kerabat saya telah menalangi ongkos naik haji itu berbilang tahun lalu. Sekarang tinggal saya  bayar hutang. " Pak Sapar terdiam sebentar. " Pak Ikram, keberhasilan itu bukan berlandaskan kelebihan, tapi oleh tekad kuat orang tersebut." Ucapannya seolah menohok hatiku. Aku peluk Pak Sapar dengan berurai air mata.

Angin berhembus cukup kencang. Aku pulang ke rumah dengan risau. Di perempatan jalan, aku bertemu Paldo.

"Dari mana,Pak Ikram?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun