Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Apakah Korupsi Itu Suatu Kebutuhan?

8 Oktober 2019   15:02 Diperbarui: 8 Oktober 2019   15:10 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: pixabay

Semakin ke sini kasus korupsi semakin mengkhawatirkan. Tidak hanya dari kelas kambing, mereka yang duduk di kursi VVIP saja masih suka korupsi.

Memang diakui, bagi koruptor  kelas kambing setidak-tidaknya hukum bisa menyeret mereka ke jeruji kesengsaraan. Tapi apakah kondisi koruptor yang duduk di kursi VVIP sama dengan yang duduk di kelas kambing?

Tentu saja sampai sekarang saya pastikan tidak. Bagi koruptor yang duduk di kursi VVIP, bisa jadi  berhasil dijebloskan ke jeruji, tapi di sini namanya jeruji kenikmatan. Karena meski ditangkap, istilah kerennya, mereka hanya dipindah dari rumah mewah ke "hotel" prodeo. 

Dalam hal ini istilah hotel tersebut memang hotel sebenarnya. Karena mereka tetap bisa mengakses beragam aktifitas sebagaimana di rumah mewahnya.  Bukan rahasia umum lagi ada kamar-kamar berbayar di hotel prodeo. Tergantung kocek kalau ingin memperoleh hotel yang nyaman.

Tapi di sini saya tak ingin membahas hal tersebut. Saya hanya  ingin membahas kenapa korupsi  tetap orang  lakukan, kendati  penghasilan mereka lebih dari cukup?

Konon bagi koruptor kelas kambing bisa dimaklumi, karena mereka memang butuh uang. Sedangkan bagi VVIP butuh apa? Apakah mereka ingin membeli kapal pesiar? Atau bagi para suami ingin menambah lebih banyak istri?

Sebenarnya fenomena koruptor kelas VVIP ini sama dengan fenomena "joker" yang beberapa hari belakangan ini sedang viral. Mereka itu sebenarnya hanya sakit mental. 

Bukankah ketika zaman kecil dulu, kita merasa bangga menjadi maling kecil, meskipun itu maling rambutan tetangga. Anehnya, sugesti nikmat dari rambutan hasil maling, dan rambutan yang  diberikan tetangga akan sangat jauh berbeda. Semacam ada seni tersendiri. 

Padahal kita tak menyadari bahwa itu adalah sakit mental stadium awal. Bila terbawa-bawa sampai besar, itulah yang akhirnya menciptakan sakit mental kronis alias koruptor VVIP.  Artinya, korupsi itu tidak lagi suatu kebutuhan, tetapi lebih cenderung kesenangan. Tanpa korupsi itu menjadi tak asyik.

Jadi, bagaimanakah usaha agar penyakit mental mereka sembuh? Tidak dapat tidak, kita harus angkat tangan untuk dapat menyembuhkan mereka. Kita harus lebih sering menyerah. Mungkin kita ingat peribahasa "kecil teranja-anja, besar terbawa-bawa, sudah tua terubah tidak." Jadi, amat sukar menyembuhkan mental mereka, kecuali mungkin dengan di-dor. Sakit mental mereka pasti sembuh. Bahkan mentalnya hilang sekalian.

Jadi, apa solusinya hingga penyakit "joker" ini tidak semakin mewabah? Salah satu cara adalah dengan pendekatan agama. Yakni semakin memperbanyak jam pelajaran agama (sesuai agamanya) di sekolah-sekolah, sehingga mental maling kecil yang stadium awal itu bisa disembuhkan hingga kelak tidak menjadi kronis.

Artinya, untuk menyelamatkan fenomena masyarakat sakit mental ini, kita harus "back to religion" sedini mungkin. Apabila pemahaman agama mereka mumpuni, maka dapat dipastikan bahwa sakit mental itu tak sampai menjadi sakit mental stadium lanjut.

Kita terkadang tidak menyadari  bahwa kita sebenarnya akan lebih takut terhadap hukuman psikis (hukuman Tuhan) ketimbang hukuman fisik yang bisa dinegosasia sesuai kesepakatan. Katakan tidak pada mental joker!

---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun