Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Kado Terindah] Bolehkah Kucium Keningmu di Bawah Purnama?

5 Oktober 2019   12:29 Diperbarui: 5 Oktober 2019   12:35 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: sosyalforum.org

"Iya, Sof."

"Nah, celaka kau Nab! Perubahan drastis penampilan suami, itu sudah pertanda buruk. Apa lagi sikap baiknya, sudah jelas menambah nilai plus bahwa dia ada main. Seorang suami bila sering berangasan, itu terjadi secara natural dari lubuk hatinya. Tapi, kalau tiba-tiba dia baik, kau wajib super curiga. Suami bertingkah baik itu sama seperti kucing. Kucing kalau merasa bersalah telah maling ikan asin, akan senang merayu majikannya. Seperti itu pula suami, saat sedang main api, dia akan berubah baik kepada istrinya. Bahkan sangat baik."

"Tapi, Mas Yayan tak pernah berangasan, Sof. Dari kami menikah sampai sekarang, dia tetap baik kok!" Aku masih membela masku. Sofiah terlihat agak jengkel. Alur pembicaraannya tak kuikuti. Dia mencomot pisang goreng asal-asalan.

"Apa yang kau alami sama persis dengan apa yang kualami sebelum berpisah dengan Mas Rizal. Karena kau tak yakin perkataanku, lebih baik aku pulang. Tak ada gunanya kalau pikiran kita tak seida. Tapi ingat, kalau nasi  sudah menjadi bubur, resiko tanggung sendiri. Tak usah curhat ke aku, jika saja aku nanti mengatakan 'no way'." Dia bergegas pergi.

"Sof, tunggu!" teriakku. "Aku bukan tak mempercayaimu. Tapi...," dia menghilang di balik pintu. Sebaskom pisang goreng kuhabiskan sendirian. Jeleknya aku di situ. Saat sedang kesal, nafsu makanku kuat. Tentu berat badanku akan bertembah. Dengan berat makan bertambah, keputusan Mas Yayan akan semakin bulat untuk meninggalanku. Alasan pertama, sebab aku bukan istri yang subur. Alasan kedua, sebab tubuhku sudah mirip emak-emak. Apalagi dia juga memiliki teman wanita---maksudku teman kerja---yang pernah memberikan hadiah jam tangan mahal saat Mas Yayan ulang tahun. Anehnya, setelah jam itu ada, dia malahan tak kenal waktu. Pulang ke rumah seringkali setelah aku tertidur. Mungkin aku salah, dia hanya kenal waktu untuk orang yang menghadiahinya jam tangan. Sedangkan aku hanya meluluskan niatnya membeli motor gede. Maka makin seringlah dia pulang larut.

Sekarang saja sudah jam tujuh malam, batang hidung lelaki itu belum kelihatan sama sekali. Padahal ini Sabtu. Setiap Sabtu biasanya dia pulang pukul dua siang. Apakah dia sedang jalan dengan perempuan berlesung pipit dan berhidung mancung itu? Kabarnya dia adalah perempuan tercantik di bengkel mobil tempat  Mas Yayan menjadi mekanik. Karena memang dia perempuan yang suangat cantik. Kalau tak cantik, mana mungkin dia bisa menggaet suami  orang. Selain itu, rata-rata pekerja bengkel itu lelaki.

Semur ayam kesukaan suami pun kuhabiskan hingga kuah-kuahnya. Sambal terasi licin tak berbekas. Seluruh perangkat makan ludes. Tenagaku harus tersalur ketimbang gila memikirkan penyelewengan Mas Yayan. Kucuci semua piring. Seluruh pakaian yang tergantung di balik pintu, kusikat kuat-kuat. Seolah tenagaku melebihi sepuluh ekor kuda.

Untung saja setelah Shalat Isya, emosiku agak terkendali. Mas Yayan tak lagi diharap akan pulang di bawah jam sembilan. Sekadar mendinginkan magma dalam hati, aku menonton video kenangan bersama lelaki itu.

Tampak di layar kaca dia sangat bahagia setelah berhasil mengucapkan ijab kabul. Para tamu yang meneriakkan 'siram-siram', akhirnya bertepuk tangan dengan gembira. Aku tersenyum geli melihat Mas Yayan tertangkap kamera sedang dipakaikan celana pengantin oleh ibu perias. Kameramen berkata, "Anda kami tangkap! Baru saja mau resepsi pernikahan sudah main api." Aku tertawa terguling-guling di kasur hingga antinganku lekas.

Sambil menaham geli melihat adegan di video itu, tiba-tiba aku mendengar suara motor besar. Tak salah lagi, Mas Yayan sudah pulang.

Setengah berlari aku mematikan tv. Lalu, aku pura-pura tertidur di sofa. Perlahan sekali lobang kunci berbunyi. Aroma parfum bau tembakau, mengoyak ruangan. Langkah-langkah berat Mas Yayan terdengar  perlahan. Dia sepertinya berjalan jinjit. Mata bertambah kurapatkan. Desing tubuh melintasi sofa. Lampu lebih terang menyala. Aku berjuang sekuat tenaga agar tak membuka mata. Sekali saja dia berbicara, aku langsung smackdown dengan pertanyaan, "Darimana saja baru pulang selarut ini? Apa tak mempunyai jam tangan?"   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun