"Tentu tidak!" jawab saya. Permainan pun bubar karena terdengar suara azan zhuhur. Yang azan Mat Din.Â
Saya mulai takut, biasanya Pak Barus merangkap sebagai petugas azan selain pengabar kematian. Bilamana dia mati, siapa yang akan menggantikan tugasnya yang berat itu?
Selepas Shalat Zhuhur, dan bersantap kari kambing limpahan juadah tetangga yang anaknya sedang aqiqah, tiba-tiba saya pening bukan buatan. Dari telapak kaki sampai batas paha, terasa dingin. Dari perut sampai pangkal leher, terasa panas. Jangan-jangan saya akan mati. Siapa yang menjadi pengabar kematian kalau saya mati?
"Apakah  aku akan mati, Bu?" tanya saya kepada istri yang diam di rusuk kamar. Dia sedang melipat seragam sekolah anak-anak. Â
"Hus! Ngomong kok ngawur. Makanya, makan itu ingat-ingat. Abang ada darah tinggi. Dikasih tahu jangan makan kari kambing, kok ngeyel!"
"Siapa yang menjadi pengabar kematianku?"
"Jangan ngawur, ah!"
Istri pergi ke belakang rumah. Saya menjadi semakin takut. Mata saya berkunang-kunang. Sebentar saja, saya tak ingat apa-apa. Saya tertidur lelap karena kekenyangan bersantap juadah kari kambing yang sangat sedap. Saat terbangun, kondisi saya sudah mendingan. Tapi, kepala masih pening. Saya terbangun karena mendengar celoteh si Otto di ruang tamu.
"Ada apa ribut-ribut?" Saya kuat-kuatkan badan, bergabung dengan anak istri di ruang tengah.
"Ini lho, Pak! Kata Otto ada yang mati di rumah Pak Barus," jawab istri.
"Jangan-jangan Pak Barus!"