Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pintu Perlintasan Kereta

14 September 2019   10:07 Diperbarui: 14 September 2019   10:26 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Malam ini pertama kali aku berjaga di pintu perlintasan kereta Banting. Angin menelusup di antara rimbun bougenville. Ada aroma melati entah dari mana.

Azam sudah sejam lalu menghilang. Asap motornya sudah menyatu dengan kabut. Dingin malam mendinginkan kopi, juga mendinginkan hatiku. Topi kupluk semakin kubenamkan. Sarung bertambah kencang membelit leherku. Adakah dingin malam yang membuatku menggigil, atau rasa takut yang sangat?

Malam ini aku terpaksa menggantikan Mang Ojo berjaga di pintu perlintasan kereta. Dia sedang ada acara keluarga. Sialnya pula, aku harus menunggu sampai kereta terakhir melintas sekitar pukul dua belas malam. Keberangkatan kereta dari Stasiun Kertapati terlambat karena kesalahan teknis. 

Huh, coba saja aku ada kawan mengobrol! Maksudku kawan melawan takut. Tapi, semua menghilang terhipnotis organ tunggal di tempat Mang Kedang. Kabarnya biduanitanya semok menggoda.

Hmm, kenapa pula Mang Ojo ada acara keluarga malam ini? Coba saja kalau acaranya siang, aku paling tidak hanya perlu berjaga di pintu perlintasan kereta sampai senja.

Aku terbayang desas-desus, bahwa di tempat ini dulu tempat pembantaian manusia pada tahun '65. Malam hari kalau sedang sepi begini, sering terdengar jeritan entah darimana Lalu, ada suara yang menangis. Kata orang sih, tempat ini berhantu.

"Mas." Tiba-tiba sebuah suara menyapaku.

Berat rasanya kepala ini diangkat. Rasa takut menggandulinya. "Adakah kereta lewat malam ini?" Dia duduk di sebelahku. Seorang perempuan berbaju terusan warna putih bermotif kembang-kembang. Rambutnya terurai panjang. Selintas dia tersenyum. 

Cantik juga. Tapi, sekarang ini bukan waktu yang tepat memikirkan cantik. Lagi pula, meskipun ada kereta yang melintas, tentu saja sekadar melintas. Mustahil dia berhenti menaik-turunkan penumpang.

Perempuan itu mengambil gelas bekas Azam. Kopi yang tersisa seperempat, diseruputnya hingga tandas. Sepotong sisa ubi goreng dia kunyah. Dia menyeringai. "Ada kereta lewat malam ini?" tanyanya lagi. Selangkanganku terasa basah. Nyaliku semakin ciut.

"Ada, tapi cuma melintas," jawabku terbata. "Tidak mungkin menaik-turunkan penumpang."

"Dulu rumahku di sini, tuh di rimbun ilalang di seberang." Dia menunjuk dengan ujung bibir. Katanya, lakinya seorang penjaga pintu perlintasan kereta. Tepatnya di tempatku sekarang berjaga.

Pada malam-malam seperti ini, lakinya sering bermain catur sendirian.  Sangat asyik. Dia seolah ada kawan main. Seru sekali. Terkadang dia membentak kesal. Terkadang girang bukan buatan. 

Tapi, malam itu tak seperti biasanya ada kereta yang lewat, bukan pada waktu yang tepat. Kereta itu berhenti, juga bukan pada tempatnya berhenti. Sang masinis berteriak ada orang mati di dalam gerbong. 

Lakinya bergegas memasuki salah satu gerbong. Tapi, saat lakinya sudah lenyap dalam gerbong, kereta tiba-tiba berjalan. Ada beberapa tubuh melongok dari jendela gerbong. Mereka tak memiliki kepala.

Besok paginya orang-orang ribut sembari merubungi pos jaga. Sesosok mayat ditemukan gembung dan dirubungi lalat. Dia lakinya si perempuan.

"Dan aku ingin menuntut balas kepada masinis itu. Aku ingin membunuhnya!" ketus perempuan itu.

Aku melihat kilat dendam di matanya. Rasa takut semakin mencekik. Apalagi saat si perempuan mengeluarkan pisau berlumuran darah. Aku ingin menyuruhnya mengurungkan niat. Tapi, suaraku tertahan. Hingga tepukan di pipiku membuatku tersadar. 

Mang Ojo berdiri di hadapanku dengan wajah  marah. Terdengar suara ribut-ribut. Ada sebuah kereta berhenti. Terdengar umpatan mana penjaga. Seseorang berteriak ada yang mati;  perempuan.

"Kenapa kau tidur? Gara-gara palang pintu perlintasan tak kau turunkan, seseorang terlindas, mati! Kau harus bertanggung jawab!" Dia menyeretku ke bawah gerbong kereta. Aku melihat sesosok mayat terpotong dua. Wajahnya masih utuh. 

Samar kuingat dia perempuan yang hadir dalam mimpiku. Tapi, Tuhan. Tiba-tiba mata mayat itu terbuka. Dia berdiri, ingin mengerkah leherku. Mang Ojo, menyerahkanku kepada perempuan itu, dan dia berlalu sambil tertawa terbahak-bahak.

"Hei, bangun! Jaga kok mengigau." Mang Ojo duduk di sebelahku. "Malam ini tak ada lagi kereta yang melintas. Pulanglah, tidur di rumah saja."

Pikiranku tak tenang. Berminggu setelah itu aku tak mau berkunjung ke pintu perlintasan kereta Banting. Mimpi itu seolah nyata.

---sekian---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun