Aku berjuang agar bisa membuat cerpen yang dapat merayu hati para juri. Hanya saja, Â setelah sebulan penjurian cerpen, aku hanya bisa mengelus dada. Tak ada namaku tertera di majalah dinding sekolah. Punah sudah harapanku melihat ayah bisa tersenyum lagi seperti sediakala. Alis hanya bisa mengelus-elus punggungku, semoga aku tetap semangat. "Lode, setiap usaha pasti menemukan hasilnya."
"Hasil kalah lomba  cerpen. Ah, aku bukan pengarang yang berbakat."
Sejak saat itu, duka ayah semakin membuatku luka. Apalagi ibu terlihat sangat kepayahan menahan rong-rongan biaya rumah-tangga. Hingga suatu senja selepas bermain bola, aku  melihat ayah dan ibu, juga seorang tamu lelaki, sedang berbincang. Mereka terlihat riang. Di sela-sela perbincangan, aku mendengar suara tawa ayah sangat lepas.
"Nah, itu anaknya datang!" seru ayah. Tamu itu menyongsong dan menyalami aku. Matanya terlihat berlinang. Dia memapahku menuju teras.
"Bapak salah seorang juri lomba cerpen kemarin itu. Kau memang tak berhasil menjadi salah seorang pemenang. Tapi, bapak sangat tersentuh membaca cerpenmu. Seperti kisah nyata. Rupanya memang kisah nyata. Baiklah, besok kita sama-sama mencari sepasang tongkat kruk itu, ya." Dia tersenyum bahagia.
Aku ingin menjerit lantaran senang. Kelak ayah akan bisa memiliki mobil banyak lagi. Yang penting aku ingin sosok yang selalu penuh canda itu. Semangat, Ayah!
---sekian---