Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Humor

Ja Limbat

9 September 2019   09:19 Diperbarui: 9 September 2019   09:26 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Baca juga : 1,2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9

Pecal Wak Midah itu, tuntaslah sudah mengisi perut. Wak Dahler seperti biasa mengakhiri makan dengan bersugi tembakau. Wak Ja Sukat memenuhkan mulutnya dengan sejumput sirih. Ja Sulaiman dan Wak Ja Sutan merasakan nikmatnya menghisap rokok daun nipah berisi tembakau pemberian Mizan. Apa-apa yang didapat gratis, terkadang rasanya lebih nikmat.

Lezat benar pecal Wak Midah. Itulah dari dulu yang paling disukai Ja Sulaiman pada diri perempuan itu. Mahir nian memasak. Sayur pare saja seperi makan gulai rendang. Tapi, Ja Sulaiman kalah satu tikungan dengan Ja Latong. Macam Ferrarri beradu pedati. Kapanpun rasanya tak akan menang-menang pedati itu. 

Ja Limbat sesekali melirik Tiara. Baru pertama dalam hidupnya, Ja Limbat makan tak bersisa. Biasanya, kalau sedang makan, piring pun mau dimakan. Tak jadi dimakan, itu pun lantaran keras. Tapi, adat jatuh cinta memang begitu. Makan tak nyenyak, tidur tak lapar. Aduh, salahkah? Terbolak-balik, ya? Lupakan saja!

Sedangkan Tiara berkali-kali tersenyum. Geli betul dia, karena sesekali kaki Ja Limbat seperti menyenggol kakinya. Bagaimana tak geli, bulunya banyak sekali. Hihihi, kakinya seperti hutan belantara saja. Akan hal Ja Limbat, merasa seperti di awang-awang. Dia terkejut, kenapa Tiara sampai berani menyenggol kakinya. Tapi, merasa di awang-awang itu, berubah menjadi terkejut bukan kepalang. Bulu kaki Tiara lebat sekali, bagaikan bulu... apa, ya?

"Aduh!!!" Ja Limbat kesakitan karena kaki Tiara mengigitnya. Hei, mana mungkin kaki Tiara bergigi.

"Kenapa kau menjerit, Ja Limbat?" tegur Wak Dahler. Ja Limbat bergegas melihat ke kolong meja makan, ternyata si Manis (pen; nama kucing) yang ada. Kucing itu mungkin kesal karena disentuh-sentuh terus oleh jempol kaki Ja Limbat yang besar seperti jambu bol.

Bulu kaki yang dikiranya bulu kaki Tiara, ternyata bulu kucing. Tiara tak kalah malunya, sudah mengira bulu kaki Ja Limbat ternyata hanya bulu si Manis. Wak Dahler langsung melongok ke kolong meja makan, lalu tertawa.

"Kaki kau digigit si Manis ya, Ja Limbat? Dipikirnya kaki kau itu ikan asin karena baunya hampir sama." Tertawalah seluruh yang ada di ruang makan itu, kecuali Ja Limbat dan Tiara. Mereka berdua malu-malu kucing. Kalah malu, akhirnya si Manis berlarilah ke dapur.

Ja Sulaiman menarik napas sangat panjang. Kelihatan dia ingin membicarakan yang serius. Ja Limbat sedikit takut. Takut-takut kalau ayahnya terlalu panjang menarik napas, dan tak dihembuskan lagi. Tapi, untunglah ayahnya itu terbatuk-batuk. Lega rasanya. Kalau ada apa-apa pada lelaki itu, bingung penulis cerita menggantikan posisi ayah Ja Limbat. Apa harus Ja Latong? Kalau sampai begitu, Wak Midah bisa marah-marah. Berhenti pula dia menjadi aktris cerita karena Lopo Sapangkek akan bangkrut karena tak tahan memenuhi selera perut Ja Limbat yang sebesar beduk itu.

"Begini, Ja Limbat. Apakah kau mau menuruti ajakan siapa itu namanya, Sopan Sopantun? Nama kok tak sejalan dengan tujuan. Harusnya, kalau ayah si Sopan itu mengidolakan bintang film, kasih namalah dia Sopan Sopian, bukan Sopantun. Apa karena dia anak Medan dan suka berpantun?" Ja Sulaiman menepuk keningnya. "Alah, kenapa pula aku ngelantur. Aku hanya ingin memastikan apakah kau serius mau jadi bintang film, Ja Limbat? Kalau aku inginnya kau menjadi binatang film saja. Maksudku beternak saja di tanah lapang di belakang rumah. Beternak bebek, kambing, ayam, terserah kaulah. Kan luas, ada dua hektar, sekalian menanam durian untuk bekal anak cucu kau. Turutilah filosofi orang-orang tua dulu. Menanam sesuatu, terkadang mereka tak berpikir apakah akan menikmati buahnya. Baiklah kau berkampung saja, lebih enak dan alami. Aku takut, kalau menjadi bintang film itu, kau akan tergerus pergaulan kota." Ja Sulaiman membuang napas dengan berat.

"Jadi bintang film bisa membuat Ja Limbat terkenal, Wak." Kini Tiara yang memberi masukan.

"Apa bisa makan dengan terkenal saja? Ja Limbat akan menyesal menjadi bintang film. Makan, Tidur, mandi, buang air dan segala macam diatur. Ngomong pun harus diatur," kata Ja Sulaiman.

"Aku setuju dengan Tiara, Ayah. Biarlah aku menjadi bintang film, biarpun menjadi bintang film lawak. Cocok betul dengan bakat aku yang suka melawak. Kawan-kawan di Lopo Sapangkek (pen; lepau sebaya) juga mendukung aku. Boleh ya, Yah?" Wajah Ja Limbat kelihatan berharap menjadi bintang film.

Wak Dahler mengambil alih pembicaraan. "Biarkanlah Ja Limbat menuruti kemauannya. Tapi, untuk lebih amannya, kawinkan dulu Tiara dan Ja Limbat. Biar nanti Ja Limbat tak macam-macam di Jakarta. Lagi pula, sekali dayung, dua tiga lopo bisa dilampui."

Ja Sutan tertawa. "Kau ini ada-ada saja, Dahler. Jangan main todong begitu. Kawin itu bukan membuat pisang goreng. Belum tentu juga Tiara mau dengan Ja Limbat."

"Ibarat kata, Ja Limbat mendapat durian runtuh. Sedangkan Tiara tertimpa durian runtuh, bisa bonyok," seloroh Ja Sukat. Semua tertawa geli. Pada akhirnya dicapai kesepakatan, para tetua merestui Ja Limbat pergi ke Jakarta untuk menjadi bintang film. Rencananya, Ja Limbat berangkat ke Jakarta sendirian menumpang bis ALS. Sopan Sopantun akan menunggunya di Terminal Pulo Gadung. Akan hal Tiara, masih mau jalan-jalan dulu di Kotanopan, baru kelak pulang ke Medan.

Tinggal Ja Limbat menanggung kesal, karena sebelumya dia berpikir akan bersama Tiara ke Jakarta. Dia juga menangung sesal, andainya Tiara didekati Mizan, Buddin, Irul, Wan dan lainnya, bisa gigit jari dia. Tapi, sekali berlayar surut kata berpantang. Sekali berpantang, dua-tiga makanan, hanya menjadi impian.  Cukup sekian, esok cerita berpanjang.

---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun