"Jadi bintang film bisa membuat Ja Limbat terkenal, Wak." Kini Tiara yang memberi masukan.
"Apa bisa makan dengan terkenal saja? Ja Limbat akan menyesal menjadi bintang film. Makan, Tidur, mandi, buang air dan segala macam diatur. Ngomong pun harus diatur," kata Ja Sulaiman.
"Aku setuju dengan Tiara, Ayah. Biarlah aku menjadi bintang film, biarpun menjadi bintang film lawak. Cocok betul dengan bakat aku yang suka melawak. Kawan-kawan di Lopo Sapangkek (pen; lepau sebaya) juga mendukung aku. Boleh ya, Yah?" Wajah Ja Limbat kelihatan berharap menjadi bintang film.
Wak Dahler mengambil alih pembicaraan. "Biarkanlah Ja Limbat menuruti kemauannya. Tapi, untuk lebih amannya, kawinkan dulu Tiara dan Ja Limbat. Biar nanti Ja Limbat tak macam-macam di Jakarta. Lagi pula, sekali dayung, dua tiga lopo bisa dilampui."
Ja Sutan tertawa. "Kau ini ada-ada saja, Dahler. Jangan main todong begitu. Kawin itu bukan membuat pisang goreng. Belum tentu juga Tiara mau dengan Ja Limbat."
"Ibarat kata, Ja Limbat mendapat durian runtuh. Sedangkan Tiara tertimpa durian runtuh, bisa bonyok," seloroh Ja Sukat. Semua tertawa geli. Pada akhirnya dicapai kesepakatan, para tetua merestui Ja Limbat pergi ke Jakarta untuk menjadi bintang film. Rencananya, Ja Limbat berangkat ke Jakarta sendirian menumpang bis ALS. Sopan Sopantun akan menunggunya di Terminal Pulo Gadung. Akan hal Tiara, masih mau jalan-jalan dulu di Kotanopan, baru kelak pulang ke Medan.
Tinggal Ja Limbat menanggung kesal, karena sebelumya dia berpikir akan bersama Tiara ke Jakarta. Dia juga menangung sesal, andainya Tiara didekati Mizan, Buddin, Irul, Wan dan lainnya, bisa gigit jari dia. Tapi, sekali berlayar surut kata berpantang. Sekali berpantang, dua-tiga makanan, hanya menjadi impian. Â Cukup sekian, esok cerita berpanjang.
---