Hingga tiba-tiba Ja Limbat merasa agak berat melangkah. Seolah ada yang menahan kedua belah kakinya. Semakin lama, semakin berat. Dari senyuman, para tamu akhirnya tertawa sambil menunjuk ke bawah. Ja Limbat pun merunduk. Dia terkejut bukan kepalang. Celana teluk belanga tak lagi di pinggang, tapi sudah di mata kaki. Aduh, mau ke mana diletakkan wajah malu Ja Limbat. Dia memang lucu, hanya saja, untuk kasus ini beda.
Untung saja Ja Limbat mengenakan celana panjang di dalam. Kalau tidak, akan terlihat bulu kaki yang seperti hutan. Bergegas dia angkat celana teluk belanga itu, lalu berlari ke kamar rias. Seorang lelaki menahan langkahnya.
"Hahaha, lucu sekali tadi." Lelaki itu tertawa. Ja Limbat kesal, karena senyum orang Medan hanya tipu daya. Dikiranya tadi karena ramah, tahu-tahu karena ada celana teluk belanga yang merosot.
"Kenapa pula kau? Mau mengejekku pula? Kukasih moncak (pen; gerakan silat), bisa jatuh kau," ancam Ja Limbat.
"Tenang. Aku Sopan Sopantun. Seorang sutradara film lucu dari Jakarta. Kau tahu kota Jakarta yang megah itu, kan? Aku lihat kau berbakat jadi pelawak. Ini kartu namaku. Jangan sampai hilang. Nanti kau telepon aku," kata orang itu dengan senyum bahagia.
"Bisakah ini ditukar dengan nasi bungkus?" tanya Ja Limbat. Lelaki itu hanya mengibaskan tangan, lalu berlalu.
Selesai sudah kisah di Medan. Rencananya, nanti sore, Ja Sulaiman dan Ja Limbat akan pulang ke Tor Siojo (pen; bukit siojo). Ja Limbat mulai melupakan kota besar itu dan si Sopan Sopantun. Tapi, ingatannya selalu tak lepas dari Tiara. Apakah pungguk sedang merindukan bulan? Tiba-tiba kawan kita ini hilang selera lawaknya. Suka melamun. Bahkan saat berada di dalam bis ALS yang mengantarnya pulang, tak sepatah pun dia bercerita.