Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Menulis Itu Menunjukkan Kamu Kaya

13 Agustus 2019   10:03 Diperbarui: 13 Agustus 2019   10:30 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Terkadang saya menyerah kalah ketika melihat isi kas rumah tangga selalu berkurang. Dulu, ketika saya masih jombloer, semangat muda menulis melesat seperti Ferrari melaju di lintasan. Saat saya sudah menikah, kecepatan Ferrari menjelma mobil In**va. 

Saat saya sudah mempunyai anak, kecepatan In**va menjadi motor. Alhasil, sesudah anak semakin besar, kecepatan motor beralih sepeda. Apakah kelak saat mereka semakin besar, kecepatan sepeda menjelma pedati? Atau, tak bergerak sama-sekali. 

Sementara orang di luar sana, semakin mewah dengan hartanya. Semakin melaju melebihi Ferrari. Setiap awal, tengah dan akhir bulan konsisten melebarkan ikat pinggang. Sedangkan saya, awal bulan saja, harus bersiap-siap mengencangkan ikat pinggang.

Di situlah terkadang ada rasa pesimis, apakah saya  mesti menanggalkan profesi menulis dan beralih ke profesi lain yang lebih meyakinkan? Seorang tukang ojek terkadang lebih dipahami orang ketimbang penulis. 

Apakah penulis itu semacam goreng pisang? Teman saya sesama penulis (bahkan sangat jauh berhasil dibanding saya, curhat di medsos). 

Begini katanya, "Ketika istri aku sedang menggunakan jasa ojek online, si mas ojek berbincang-bincang sejenak untuk mengusir sepi, tentang istriku dan segala tetek-bengek lainnya. 

Ketika bersinggungan dengan siapa suaminya, istriku menyebutkan namaku, yang boleh dibilang sangat dikenal sejagat kota. Si mas ojek tahu siapa aku. Tapi saat si istri turun dari boncengan, si mas mengucapkan rasa kasihan karena istriku memiliki suami seorang penulis."

Haruskah ada jabatan penopang penulis, misalnya pembecak, sebagai pengangkat derajat? Haruskah saya korupsi di bidang tulis-menulis sekaligus membudayakan korupsi yang sudah kasep ini? Memplagiat atau copy-paste karya-karya terkenal, misalnya. Mencuri ide-ide buku best seller. 

Tapi, sejauh mana bisa kaya? Hasril korupsi menulis mungkin bisa membeli sepeda buruk. Tapi, korupsi menulis, hukumannya amat sangat berat dibanding korupsi di bidang lain. Korupsi di bidang lain hanya tubuh yang terpenjara, tapi bisnis tetap adem-ayem. Kata penjara pun kamuflase semata. 

Ibarat pindah rumah, dari rumah gedongan ke hotel mewah. Sementara penulis, sekali korupsi, dia akan malu di mata penulis lain dan pembaca. 

Dia akan tersisih di media maya maupuan nyata, akibatnya tulisan si koruptor haram dimuat. Imbasnya profesi menulis tinggal kenangan, kecuali buku diary yang tetap setia menjadi sampah cerita.

Kondisi lemah semangat menulis ini tak hanya menjangkiti saya, mungkin juga menjangkiti penulis lain. Apalagi timbul sindiran, kok masih mau menulis kalau hasilnya recehan? 

Memang bisa makan kata-kata? Kapan kayanya? Orang sudah mengendarai pesawat jet, kamu masih berangan-angan mempunyai rumah sederhana sambil mengendarai pedati.

Di situlah perlu melakukan perjalanan bathin. Kekayaan itu bukan saja terletak pada harta. Kekayaan bisa bermacam-macam. 

Menurut saya, seseorang bisa disebut kaya setelah dia bisa berbagi manfaat dengan orang lain. Orang yang banyak harta tapi medit bin pelit, tak bisa disebut kaya. 

Orang yang miskin harta tapi royal berbagi manfaat kepada yang lain, itulah sejatinya orang kaya. Orang kaya yang medit bin pelit, akan susah hatinya, akan sumpek hidupnya, kaya harta membuatnya tetap merasa kurang. Selama dia masih berprinsip bahwa masih kurang, tentulah tidak disebut kaya. 

Bukankah orang yang berbagi itu karena dia sudah berlebih, tak peduli itu lebih harta, lebih ilmu, lebih pengalaman? Intinya orang disebut kaya itu setelah dia berbagi.

 Makanya sekarang saya berpikir sudah kaya, meskipun tulisan ini tak ada artinya dengan sebungkus kacang tojin, setidaknya saya sudah berbagi. 

Kayak itu tidak pada harta, tapi pada hati. Tak ada orang kaya sebelum dia berbagi. Bukankah gelas  membagi meja air karena dia sudah sangat penuh (kaya)? Jadi, masih enggan tetap menulis? Kalau saya, lanjut terus.

---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun