Kondisi lemah semangat menulis ini tak hanya menjangkiti saya, mungkin juga menjangkiti penulis lain. Apalagi timbul sindiran, kok masih mau menulis kalau hasilnya recehan?Â
Memang bisa makan kata-kata? Kapan kayanya? Orang sudah mengendarai pesawat jet, kamu masih berangan-angan mempunyai rumah sederhana sambil mengendarai pedati.
Di situlah perlu melakukan perjalanan bathin. Kekayaan itu bukan saja terletak pada harta. Kekayaan bisa bermacam-macam.Â
Menurut saya, seseorang bisa disebut kaya setelah dia bisa berbagi manfaat dengan orang lain. Orang yang banyak harta tapi medit bin pelit, tak bisa disebut kaya.Â
Orang yang miskin harta tapi royal berbagi manfaat kepada yang lain, itulah sejatinya orang kaya. Orang kaya yang medit bin pelit, akan susah hatinya, akan sumpek hidupnya, kaya harta membuatnya tetap merasa kurang. Selama dia masih berprinsip bahwa masih kurang, tentulah tidak disebut kaya.Â
Bukankah orang yang berbagi itu karena dia sudah berlebih, tak peduli itu lebih harta, lebih ilmu, lebih pengalaman? Intinya orang disebut kaya itu setelah dia berbagi.
 Makanya sekarang saya berpikir sudah kaya, meskipun tulisan ini tak ada artinya dengan sebungkus kacang tojin, setidaknya saya sudah berbagi.Â
Kayak itu tidak pada harta, tapi pada hati. Tak ada orang kaya sebelum dia berbagi. Bukankah gelas  membagi meja air karena dia sudah sangat penuh (kaya)? Jadi, masih enggan tetap menulis? Kalau saya, lanjut terus.
---