Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Halte

2 Agustus 2019   08:05 Diperbarui: 5 Agustus 2019   18:09 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi:Pixabay

Dia tertawa lebih keras. Lelaki yang duduk di bangku cc, mendeham. Dia menutup novel yang sambil lalu dibacanya. Kemudian dia mencoba memejamkan mata. Sementara aku fokus ke depan. Kurasakan angin mendesing-desing, dan semua yang ada di depan, kanan-kiri, berlari cepat ke belakang. 

Ah, andai hidupku bisa dibuat berlari kencang ke belakang, pasti aku langsung memilih kuliah di fakultas pendidikan Bahasa Indonesia ketimbang fakultas Sastra Inggris, yang sampai sekarang tak bisa kujadikan tumpuan hidup. Tapi, adakah itu bisa dimundur-mundurkan?

Bus makin kencang melaju. Senja sudah lama berganti malam, bahkan hampir dini hari. Setelah bersantap di rumah makan yang menyediakan nasi dan lauk-pauk dingin, aku tidur di belakang jok paling belakang. Sopir yang sejak sekian jam lalu tidur mendengkur di situ, pindah ke belakang kemudi. Kami bergantian. Dia sopir satu dan aku sopir dua.

Beberapa rumah makan kami singgahi. Sekali-sekali santapan yang tersedia lumayan lezat. Tapi tak satu pun yang menyediakan tempat mandi dan kakus memadai. Selain kakus bau pesing, air di bak kamar mandi rata-rata berwarna coklat keruh dan seperti berlendir. 

Senja berikutnya tiba giliranku memegang kemudi. Bangku cc sudah kosong. Aku tak tahu serta tak mau tahu tentang lelaki yang kemarin duduk di situ entah turun di mana. Kuputarkan lagu Sumatra Selatan sesuai lokasi yang kamu lalui. 

Sementara hatiku sesekali merutuk. Bau bus sangat tak sedap. Berbaur-baur bau kentut, sendawa, masamnya muntah, asap rokok, dan bau ayam. Kutu busuk, siapa pula yang membawa ayam ke dalam bus ini!

Bus merayap melintasi jalan berlubang. Langit yang memerah, berganti suram. Hujan rintik-rintik seolah menambah cepatnya kelam. Sebuah kota kecil kami lintasi. Her terkantuk-kantuk di seberangku. Kepalanya terkulai di kaca jendela. 

Kasihan, aku tak ingin meneriakinya dan menyuruh matanya tetap awas. Dua jam lalu ban bus pecah. Dia dan Sandri---kenek yang satunya---telah berjibaku mengganti ban pecah dengan ban serep.

Hmm, tak ada penumpang yang menyetop bus ini setelah aku memegang kemudi. Para penumpang yang kabarnya perawat itu, telah turun entah di mana. Nyaris setengah jok kosong.

Hujan tiba-tiba membesar. Wiper kunyalakan. Bunyi ngiat-ngiot meningkahi geraman hujan. Jalanan di depan semakin samar. Kemudian mataku ditumbuk cahaya---sepertinya cahaya senter---dari depan sebelah kiri. Mungkin penumpang. 

Sigap aku mengerem dan memepetkan bus ke dekat penumpang itu. Her terbangun. Dia menguap sambil membukakan pintu. Setelah penumpang---yang ternyata perempuan itu---masuk, Her menutup pintu dan tidur kembali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun