Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sewindu Windy Meraih Mimpi

29 Juli 2019   16:06 Diperbarui: 29 Juli 2019   16:09 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Matanya berlinang. Meskipun sudah berjuang mati-matian, tetap saja hidupnya stagnan. Seperti nomaden, pindah dari satu tempat ke tempat lain. Dari kontrakan satu ke kontrakan lain. Tiap tahun sewa kontrakan selalu naik. Dia tak tahu apa memang naik, atau sengaja dinaikkan untuk mengusir secara halus. Ibarat kata, dia bagaikan kucing beranak. Perjalanan keluarganya bagaikan buah kelapa hanyut dibawa arus sungai. Timbul-tenggelam.

Satu persatu dia tatap wajah anaknya. Ada nyeri menjalar dada. Apakah dia sanggup memenuhi pendidikan mereka, dengan kondisi seperti ini? Tempat tinggal saja susah, apalagi melanjutkan pendidikan mereka ke jenjang lebih tinggi. Apalagi ke sekolah-sekolah pavorit.

Dia menatap istrinya. Perempuan itu begitu kuat. Apakah dia sanggup bertahan bersamanya? Tidur hanya beralaskan kasur tipis tanpa dipan. Bersusun dencis kata orang. Terkadang ubin yang dingin kerap membuatnya masuk angin.

Perlahan mata perempuan itu membuka. Buddin membuang wajah. Leleran air mata, terjatuh menimpa pipi. Dia mengusap matanya. Dia tak ingin Fatimah, perempuan itu, melihatnya menangis. Seorang suami tak boleh menangis, apalagi lantaran persoalan hidup.

"Kenapa, Yah? Masih jam dua pagi, kok nggak tidur?" tanya Fatimah. Setelah terbangun di malam hari, dia terbiasa melaksanakan shalat tahajud. Buddin menatap perempuan itu. Dia berpindah ke ruang depan.

Sepuluh menit kemudian, Fatimah menyusul. "Apa yang ayah pikirkan? Masih nekad mengundurkan diri dari perusahaan itu?"

Buddin menarik napas panjang. "Ya, sepertinya harus nekad. Hidup tak akan maju-maju kalau begini. Tak ada salahnya menuruti saran Mizan."

"Berjualan kripik maksud ayah? Apa bisa menopang hidup." Fatimah tertunduk sedih.

"Kenapa harus malu? Mizan saja yakin dengan jualan termbakau, meski harus bersaing dengan rokok kretek dan filter, dengan rokok dalam dan luar negeri. Dia hidupnya tenang-tenang saja, dan punya rumah sendiri. Sementara dia hanya berjualan dari pagi hingga sore. Pedagang rokok malahan berjualan hingga hampir tengah malam. Aku juga harus menguatkan tekad. Apapun pekerjaannya, biar pun kecil dan hina dianggap orang, Tuhan tetap memandangnya asal kita istiqomah. Kalau Dia sudah ridho, entah datang darimana, rejeki itu yang menghampiri kita. Bismillah saja."

Sebulan setelah itu, Buddin mewujudkan mimpinya. Berhenti bekerja dari perusahaan itu dengan hanya mendapatkan uang tanda terima kasih, bukan pesangon, karena dia hanya mengundurkan diri. Bersenjatakan uang itu, serta meminjam di sana-sini, mulailah Buddin berbisnis kripik dan snack lain. Tapi berjalan tiga bulan, tak ada kemajuan, malahan kemunduran. Snack buatan Buddin sering balek bandar (pen; retur) karena sudah tak layak konsumsi. Kalau cuma sekali, dia tak ambil pusing. Tapi, ini berkali-kali. Menangis pun tak bisa lagi. Dia patah arang. Tapi dia bertahan dengan apa, kalau ia tak terus berjuang?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun