Ayah seolah tersentak, duduk, kemudian memeluk kedua belah lututnya. Matanya menatap semut hitam yang beriring di sudut ruang. Mungkin dia berpikir, apakah dia seorang ayah yang normal? Apakah aku, anaknya, selalu merasa ketakutan ketika kami hanya berdua?
Tiba-tiba ayah merengkuh bahuku erat-erat. Ketakutan berjumpalitan di benakku. Namun ayah tak berbuat apa-apa lagi, selain kurasakan tetesan air jatuh dari matanya dan menindas ke bahuku yang setengah telanjang.
"Ayah senang kau merasa suka terhadap lelaki. Dan ayah berharap kau jangan pernah berpacaran dengan orang seperti ayah. Ayah sangat mencintaimu!"
Hatiku luluh. Aku balas memeluk ayah. Aku tak lagi memendam takut kepadanya. Aku juga tak ingin melukainya dengan bertanya ini-itu tentang sesuatu di selangkangannya. Biarlah kelak dia yang berterus-terang atas semuanya. Termasuk tentang ibu dan kenangan mereka.
* * *
Ayah yang aneh!
Bolehlah sekarang kuceritakan kepadamu (meski malu dan risih), bahwa sesuatu yang berada di selangkangan ayahku adalah kata berpangkal V, bukan seperti ayahmu yang kata itu berpangkal P. Kuharap kau mengerti. Dan sebenarnya sejak usia sekitar enam tahun, aku mulai bingung melihat ada yang beda dengan ayahku. Tak seperti ayah orang lain. Tapi seiring perkembangan otak kecilku, tanda tanya itu lambat-laun menghilang.
Jujur, aku begitu malu. Sangat malu. Adakah orang lain semalang aku?
----sekian----