Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Mayat Bandit

19 Juli 2019   20:21 Diperbarui: 19 Juli 2019   20:31 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Mati itu lumrah. Setiap yang hidup pasti akan merasakan mati. Bahkan prosesi untuk yang mati tak terlalu njelimet. Kalau tumbuhan, biarkan saja membusuk dan menyatu tanah. Kalau hewan, gali tanah, kemudian kubur. Bedanya dengan manusia, perlu dimandikan, disalatkan---bagi orang Islam, dikirimkan doa, kemudian menguburkannya di liang yang telah disediakan. 

Tapi kali ini kematian telah membuat penduduk kampung bingung dan resah. Seorang bandit ditemukan mati. Andai  dia mati di pasar atau kedai judi, urusannya bisa diambil oleh teman sesama bandit. Sekarang ini, bandit itu mati di masjid. Tubuhnya terbujur di atas sajadah tempat biasa imam shalat. Sukarjo, sang nazir masjid, yang menemukannya shubuh tadi.

"Ini tak bisa dibiarkan! Kita mau shalat shubuh. Bagaimana dengan mayat pengganggu ini," keluh Sukarjo.

Marijan, imam masjid, menjawab, "Ya, baiklah kita urus nanti. Sekarang kita shalat shubuh di ujung kanan saja."

Tak seorang pun yang berani mendekat ke mayat itu. Konon kejahatan si bandit sangat menakutkan. Dia pernah membunuh korban rampokannya. Berkali-kali mengganggu anak orang dan sekali mencabulinya. Kalau memalak, tak sekali dua. Berkelahi, tiada terhitung lagi.

Kasak-kusuk usai shalat shubuh, pun menyemak di luar masjid. "Hi, pasti dia berhantu! Kau lihat matanya mendelik atau nggak? Bandit itu arwahnya gentayangan."

"Siapa yang akan memandikan atau menguburkannya? Siapa yang menyalatkannya?"

"Bandit tak usah dimandikan dan disalatkan. Kubur saja, selesai perkara!"

"Apa boleh begitu?"

Sampai matahari meninggi, tak ada tindakan yang berarti dilakukan terhadap mayat itu. Selain tentu saja banyak orang libur kerja. Semua merubung  masjid seperti sekerumun laron. Semua dengan pendapat masing-masing. Bahkan ada yang mengumpat, menyukuri, meludah. Marijan kebingungan. Beberapa jamaah telah diajaknya mengurusi mayat si bandit. Tapi semua ogah.

"Aku pernah dipalaknya!"

"Orang yang dibunuhnya masih famili dekat dengan kakekku."

"Pacarku pernah hendak dicabulinya!"

 "Mengurusi mayat orang seperti dia, tak sudi! Biar mampus dirubung lalat!"

"Tapi ini masjid? Apa kita biarkan dia membusuk dan menjadi najis di sini? Lagi pula kewajiban kita mengurusi orang yang mati. Mau bandit, pendosa, perampok, harus diurusi. Tak perlu kita semua, seorang saja yang melakukannya, sudah gugur kewajiban seluruh kampung." Marijan mulai pitam. Sebentar lagi lohor. Apa harus shalat berjamaah di ruang ujung kanan masjid lagi?

"Nah, kalau begitu, Pak Marijan bisa mengurusnya sendiri!"

Marijan kebingungan. Orang-orang bubar. Waktu makan siang tiba. Setelah mengumandangkan azan lohor, Sukarjo raib. Tinggal Marijan yang termangu menatap mayat itu. Kalau dibiarkan begitu saja pasti akan membusuk dan dirubung lalat. Siapa yang tahan mencium bau mayat? Bakalan tak ada orang yang shalat di masjid lagi seperti kali ini. 

Marijan salat sendirian, lalu pulang untuk makan siang. Dia berniat kembali ke masjid dengan mengajak Mulkan dan Bahri, si penggali kuburan. Mereka tak hanya orang bayaran untuk menggali kubur, tapi bisa dibayar untuk yang lain-lain. Asal ada uang, mereka siap melakukannya. Perduli amat meski mayat yang hendak diurusi bekas bandit.

Tapi ketika Marijan, Mulkan dan Bahri tiba di masjid, ajaib, mayat si bandit lenyap. Ke mana gerangan? Apa mayat itu telah dibawa lari oleh anjing liar? Atau....

Mereka bertiga sibuk mencari ke sana-ke mari. Tapi hasilnya nol besar. Marijan susah hati. Dia turut menjadi pendosa tak melaksanakan fardu kifayah atas mayat si bandit. Harusnya dia tadi mengurusi sendiri saja. Kendati dia yakin tak akan berhasil oleh uzur.

Kabar pun menyeruak kampung. Orang-orang kembali merubung masjid. Wajah-wajah bersalah pun menempias. Mereka ikut merasa berdosa. Berkali-kali Marijan mengatakan tentang fardu kifayah mengurusi mayit. Mereka semakin faham dan tak mampu mengangkat kepala.

Hingga tiba-tiba seorang pemuda muncul di antara kerumunan itu. Katanya dia yang telah mengurusi mayat itu. Tadi, selesai shalat lohor, dia membawa mayat itu memakai mobilnya. 

"Saya kebetulan lewat di sini hendak shalat lohor. Melihat ada mayat yang nggak diurusi, tergerak hati saya membawanya. Sekarang mayat sudah dimandikan, disemayamkan di rumah saya. Barangkali ada keluarga yang mau melihat, atau sekalian menyalatkan dan menguburkannya, silahkan ikut ke rumah saya," kata pemuda itu.

Beberapa orang yang penasaran ingin melihat mayat si bandit setelah dimandikan, bergegas menumpang mobil pemuda itu. Tak sampai sejam, mereka tiba di rumah pemuda itu. Dan alangkah terkejutnya mereka ketika berada di dekat mayat si bandit. Wajah mayat terlihat cerah dan dia tersenyum. Bau badannya wangi sekali. Dia terlihat putih-bersih,  lain dari biasanya dipanggang matahari di pasar.

"Sepertinya kita telah salah bersikap. Kita menganggap bandit selamanya bandit. Kita tak tahu Allah lebih mengetahui. Melihat tampilan mayat ini, saya yakin dia telah menjadi kekasih Allah." Marijan mengusap keringat yang menjalari wajahnya

"Ya, bau badannya pun sangat lain. Wangi sekali, melebihi wangi parfum manapun. Lihat senyumnya sangat cerah. Pemuda tadi di mana?"

Mereka baru sadar pemuda itu tak ada lagi di situ. Bahkan mereka baru tahu tengah berada di rumah kosong. Buru-buru mereka membawa mayat si bandit untuk melaksanakan fardu kifayah yang berikutnya.

---sekian---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun