"Bagaimana apanya?"
"Arisan!"
"Aku juga bingung!"
Arisan batal diadakan di dalam rumah. Alternatif lain arisan pindah ke kebun belakang. Meskipun sedikit bau sampah, tapi lebih baik ketimbang bau bangkai. Bu Miun yang kebelet buang air besar pun, memilih pulang ke rumahnya karena tak tahan bau bangkai di kamar mandi.
Sementara acara nonton bola bareng pun batal. Semua memilih menonton bola di tivi rumah masing-masing. Dan aku terpaksa ke warung Mijan, nebeng nonton. Rumah kami kosong. Minah pulang kampung. Istriku mudik ke rumah mertua. Milsa menginap di rumah temannya. Tinggal aku yang harus menjaga rumah malam ini. Bukan di dalam, tapi di teras.
* * *
"Eh, Jeng. Bu Broto kok malah tambah payah, ya?" celetuk Bi Dewi, teman-istriku. Sore-sore memang sering mereka habiskan di teras rumah kami. Apalagi kalau bukan sekadar minum teh dan icip-icip cemilan, dan tentu saja ngerumpi habis habisan. Terkadang aku yang sedang menonton televisi, gatal ikut bicara juga.
"Iya, Jeng! Tau tidak, pelitnya minta ampun! Sombong pula, ogah gabung kita-kita." Itu suara istriku.
"Dan lakinya?"
"Wah, sama saja! Ada kerja bakti, selalu mengurung diri di rumah. Ada sih ngeluari makanan atau minuman. Yah, makanannya murahan! Minumannya air putih!"
Di hari lain, bila malam sudah menjelang, aku dan teman-teman yang sedang senggang, suka juga mengumpul di rumah ini. Terkadang memilih di teras. Kalau lagi hujan, atau banyak nyamuk, atau ada acara bagus di tivi, kami memilih ke ruang tamu.