Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Menikah dengan Lelaki Bermasalah

16 Juli 2019   10:07 Diperbarui: 16 Juli 2019   10:46 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Hampir tiga bulan dia bertingkah demikian. Lama-kelamaan "simpanan" kami toh ludes juga. Dapur mulai jarang mengebul. Aku yang tak ingin menjadi orang yang kelaparan, pernah memaksa Rat agar bekerja apa saja asal halal. Sayang sekali,, aku hanya mendapat dampratan darinya.

Karena kesal, aku pun berbuat seperti apa yang dia perbuat. Ketika dia minggat ke rumah orang tuanya sejak pagi sampai selepas maghrib, demikian pula aku. Bahkan aku terkadang sengaja tak pulang sehari semalam agar dia marah. Ajaib dia hanya bertanya lewat telepon, aku berada di  mana. Kujawab  di rumah orang tuaku. Sementara ketika kami kemudian  sama-sama di rumah kontrakan, dia tak protes sedikitpun. Padahal aku ingin dia marah-marah dan menyalahkanku sebab berani menginap di rumah orang tuaku tanpa seijinnya. Tentunya bila dia marah-marah, aku bisa melampiaskan kekesalanku. Aku bisa menyalahkannya yang senang saja menyantai. Dia tak ingat apa, kalau aku sedang mengandung anaknya yang pertama?

Kondisi kami semakin carut-marut. Saat usia kandunganku menua,  kami tak lagi tinggal di rumah kontrakan. Pasalnya masa kontrakan sudah  habis, dan ketika ingin melanjutkan kembali, tak ada lagi uang yang cukup di tangan.

Begitu anak kami lahir, orang tuaku mulai kesal melihat tingkah Rat yang ogah-ogahan seperti itu. Maka, terbukalah omongan agar kami bercerai saja. Mana mungkin aku hidup terus dengan suami yang tak mau bekerja. Apa aku betah kelak hanya hidup dari belas kasihan orang tua? Kalaupun aku misalnya mau bekerja, seperti membuka warung makanan, toh alangkah enaknya Rat. Istri bekerja, dia yang tinggal enaknya bersantai mencicipi hasil keringatku. Kalau kami sudah bercerai, aku tentu hanya wajib memenuhi rutinitas dua mulut, yakkni mulutku sendiri dan mulut anakku.

Karena desakan kedua orang tuaku, aku tergoda bercerai saja dengan Rat. Namun setelah dipikir matang-matang, aku  masih ingin memberikan kesempatan kepadanya. Siapa tahu dia akhirnya mendapat pekerjaan, dan sifatnya yang suka berselisih faham dengan teman sekerja, sudah hilang. Sayang seribu sayang. Harapan tinggal harapan, seperti menciduk air dengan daun talas. Rat tetap Rat. Dia setia dengan tingkahnya yang memuakkan itu.

Belakangan kami bercerai juga. Dia kini hidup sendirian, dan aku telah mendapat suami baru. Kendati kami tak memiliki hubungan apa-apa lagi, kadang timbul rasa kasihan juga kepadanya. Kerjanya luntang-lantung saja. Tubuhnya kurus kering. Apalagi setelah ayahnya meninggal, disusul ibunya, dia sama sekali tak ada lagi tempat bergantung. Saudara-saudaranya juga sudah berpaling darinya. Toh untuk orang bermasalah seperti dia, siapa yang mau membantu? Harapku, semoga kelak dia berubah ke arah lebih baik.

---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun