Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kesombongan yang Menggelincirkan

15 Juli 2019   17:15 Diperbarui: 15 Juli 2019   17:23 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: pixabay

Aku mencintai setiap lembaran uang yang kudapatkan. Aku mencintai segala harta yang melimpah. Istri yang cantik, anak-anak yang ganteng dan membuatku merasa bangga sebagai seorang bapak.

Mungkin karena kenikmatan hidup yang melimpahruah itu, membuatku alpa, di mana aku berpijak sebenarnya. Aku tak bisa menempatkan diri sebagai seorang insan yang memahami bahwa segala yang datang pasti kembali. Segala yang timbul, akhirnya tenggelam. Padahal itulah hukum kehidupan yang tak bisa ditawar-tawar siapapun.

Duapuluhan tahun lalu, aku hanyalah seorang tamatan SMA yang sama sekali buta tentang pergulatan hidup. Aku remaja miskin yang lahir dari keluarga miskin. Bapakku seorang pedagang kaki lima, sedangkan ibuku hanya penjaja kue yang keluar masuk kampung sambil meneriakkan jajaannya. Abang dan kakakku pun nyaris berkehidupan sama, tinggal di bedeng kontrakan yang saling berhimpit di pinggiran kota.

Tapi Tuhan memang memberikanku garis tangan bagus. Entah magnet apa yang kupunya, sehingga Lena (nama samaran perempuan yang kini kuperistri), jatuh cinta kepadaku. Dia putri salah seorang konglomerat di kotaku kala itu. Perempuan cantik, tinggi-semampai. Pertama bertemu dengannya secara tak sengaja di sebuah persimpangan jalan. Mobilnya hampir menabrakku. Aku yang memang bertemperamen tinggi, langsung mencak-mencak. Namun, manakala dia keluar dari mobil mulusnya, aku hanya terpana. Aku tak bisa mengucapkan sepatah kata pun, selain tersenyum sambil menampik uang pemberiannya karena merasa bersalah hampir menabrakku. Kukatakan semuanya hanya unsur kesengajaan. Jadi, tak perlu diperpanjang.

Begitulah, pertemuan-pertemuan kami selanjutnya yang disengaja atau tidak, lambat-laun menumbuhkan rasa cinta di hati masing-masing. Kemudian, setahun lebih berpacaran, aku menikah dengannya dalam sebuah pesta yang sangat meriah. Undangan dari pihak keluargaku hanyalah ayah-ibu dan saudara-saudara kandungku. Sementara kerabat-kerabat lain yang rata-rata miskin, sengaja tak diundang. Itu atas saran Lena. Karena menurutnya, para tamu adalah dari kalangan jet zet. Jadi kedatangan kerabatku sebagai tamu, hanya membuat malu saja. Kedua orangtua dan saudara kandungku pun baru diijinkan menghadiri perhelatan akbar itu, mutlak setelah mereka dipermak habis-habisan, sehingga penampilan mereka sama dengan orang berpunya.

Tapi aku tak sakit hati. Karena bagiku, mendapatkan seorang perempuan cantik dan dari keluarga kaya-raya, adalah anugerah yang mustahil bagiku. Jadi, untuk apa kutentang kehendaknya, kalau akhirnya semua kenikmatan yang kurasakan akan tercerabut bila Lena marah dan mendepakku.

Perjalananku semakin mulus manakala bapak Lena menempatkanku sebagai manajer pemasaran di perusahaannya. Aku pun menjadi orang hebat dipandang masyarakat. Padahal sesungguhnya aku hanyalah kacung. Di kantor memang benar aku yang memerintah. Cuma di rumah, siapa yang memerintah sebenarnya? Tak lain tak bukan, adalah Lena seorang.

Dia menganggapku nyaris seperti pembantu. Coba saja dipikir, bagaimana tak enaknya menemaninya berbelanja ke mall, sementara aku harus mengangkut seluruh barang belanjaannya yang berat-berat itu. Di rumah, kalau pembantu sedang mudik, tugaskulah memasak dan mencuci piring. Memang tidak terlalu sering. Hanya sesekali saja jika pembantu ada keperluan mendadak ke kampungnya.

Mengenai keluargaku, tak kupikirkan sama sekali. Bahkan ketika bapak meninggal, kemudian disusul ibu beberapa bulan kemudian, aku hanya ikut menguburkan saja. Mengenai urusan lain, semisal rengekan saudara-saudaraku untuk membiayai ritual penguburan orangtua kami itu, hanya kutanggapi sepintas saja. Cuma, biar mereka tak kecewa, aku sengaja memberikan uang beberapa puluh ribu rupiah saja. Ujung-ujungnya Lena marah. Aku dianggap melakukan pemborosan. Dia mengomel sepanjang hari. Sementara seperti biasa, aku hanya menjadi pendengar yang baik.

Semakin hari hartaku semakin melimpah. Aku merasa sangat bahagia. Apalagi kemudian anak-anakku lahir, maka lengkaplah sudah kenikmatan di dunia ini. Tapi efek buruknya, saudara-saudaraku mengibaratkan diriku sebagai lumbung pertolongan. Hingga seorang dua datang ke rumah serupa pengemis meminta bantuan demi kebutuhan hidup mereka. Inilah yang membuat Lena berang dan senang memarahiku. Meskipun, ujung-ujungnya dia tetap memberikan saudara-saudaraku itu sesuatu, tapi bukan berupa uang. Misalnya pakaian bekas, sandal bekas serta segala macam yang bekas.

Lima tahun menikah dengan Lena, tiba-tiba kakakku meminta bantuan modal usaha. Dia ingin membeli toko kecil-kecilan. Sebab berdagang kaki lima sudah tak nyaman lagi. Hampir setiap hari dia harus berurusan dengan trantib. Kujawab saja bahwa aku sedang tak ada uang. Kakakku tak kehabisan akal. Dia rela aku memberikannya pinjaman, meski memakai bunga sekali pun.

Aku menjadi tak tega. Aku berencana meminjaminya uang tanpa bunga. Hanya saja, ketika kuutarakan kepada Lena, jawaban yang kuterima adalah penolakan keras. Lena memvonis bahwa kakakku pasti tak akan bisa membayar hutangnya. Kelak aku bisa saja bermusuhan dengannya. Lalu putuslah hubungan keluarga. Alhasil, aku tak meluluskan niat kakakku itu.

Di waktu yang lain, anak saudara sepupuku merengek-rengek meminta dipekerjakan di perusahaan tempatku bekerja. Dia seorang sarjana, dan cakap bekerja. Menurutku dia layak ditempatkan di perusahaan miliki bapak Lena di bagian keuangan. Tapi belum sempat aku menyetujui keinginannya, Lena buru-buru menolak dengan kasar. Saat itulah emosiku naik. Aku mengatakan bahwa Lena jangan terlalu jauh mengurusi kehidupanku. Masalah keuangan di rumah serta tetek-bengek lainnya, bolehlah diurusinya. Kalau mengenai di kantor, tak perlu dicampurtanganinya.

Lena naik pitam. Dia mengungkit-ungkit bahwa seluruh kekayaan yang kuperoleh, mutlak dari bapaknya. Kalau Lena tak menarikku, mungkin aku akan terus tenggelam di comberan kemiskinan dan tetap menjadi pecundang. Dia menambahkan, "Membantu anak sepupumu bekerja di perusahaan kita, sama saja menghancurkan semuanya. Saudaramu itu akan bertingkah. Mentang-mentang kerabat dekat bos, dia juga berlagak serupa bos. Bahkan kelak, disuruh-suruh suka membantah. Kalau kau tetap ngotot menerimanya bekerja, maka siap-siap angkat kaki dari rumah ini."

Ancaman menakutkankan, yang membuatku gemetar. Akhirnya kutolak secara halus keinginan anak sepupuku. Tak kuperdulikan wajah memelas yang dipertontonkannya. Sama tak perdulinya aku kepada wajah-wajah memelas yang silih-berganti menghiasi rumahku. Dari wajah memelas pengemis, sampai wajah mereka yang masih bertalian darah denganku.

Enak saja mereka itu. Aku yang bersusahpayah mencari penghidupan, mereka datang sekedar meminta. Sok kenallah. Sok dekatlah. Coba kalau aku orang miskin. Mungkin berbilang tahun baru mereka menjengukku. Itu pun ketika ada kemalangan menimpa, misalnya ada keluargaku yang meninggal. Atau ada kebahagiaan lain, seperti acara syukuran, khitanan, pesta nikah. Pokoknya, perduli amat sama mereka.

Berbilang tahun aku menjadi orang yang angkuh. Berbilang tahun aku merasa bahwa keluargakulah satu-satunya penghuni dunia ini. Hingga suatu saat roda kehidupanku berputar ke bawah. Perusahaan mertuaku bangkrut terimbas krisis moneter. Kami bersama-sama mencoba menyelamatkannya. Seluruh karyawan berjuang sekuat tenaga. Sayang, Tuhan tetap pada keputusan-Nya semula. Membangkrutkan perusahaan serta seluruh penghuninya.

Sekarang, setelah hampir tujuh tahun perusahaan itu bangkrut, aku juga sebenar-benar bangkrut. Aku tak memiliki harta apa-apa lagi, selain rumah tipe 45 yang kini menaungiku bersama Lena dan anak-anak. Sebagai balasan atas sikapku dulu, seluruh kerabat sengaja menghindar. Beruntunglah abang dan kakakku tak bersifat serupa, jadi masih ada orang untukku berbagi kesah. Tapi, ini pelajaran utama bagiku, bahwa setiap yang tiada menjadi ada, pada akhirnya akan tiada pula.

---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun