Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kesombongan yang Menggelincirkan

15 Juli 2019   17:15 Diperbarui: 15 Juli 2019   17:23 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: pixabay

Aku menjadi tak tega. Aku berencana meminjaminya uang tanpa bunga. Hanya saja, ketika kuutarakan kepada Lena, jawaban yang kuterima adalah penolakan keras. Lena memvonis bahwa kakakku pasti tak akan bisa membayar hutangnya. Kelak aku bisa saja bermusuhan dengannya. Lalu putuslah hubungan keluarga. Alhasil, aku tak meluluskan niat kakakku itu.

Di waktu yang lain, anak saudara sepupuku merengek-rengek meminta dipekerjakan di perusahaan tempatku bekerja. Dia seorang sarjana, dan cakap bekerja. Menurutku dia layak ditempatkan di perusahaan miliki bapak Lena di bagian keuangan. Tapi belum sempat aku menyetujui keinginannya, Lena buru-buru menolak dengan kasar. Saat itulah emosiku naik. Aku mengatakan bahwa Lena jangan terlalu jauh mengurusi kehidupanku. Masalah keuangan di rumah serta tetek-bengek lainnya, bolehlah diurusinya. Kalau mengenai di kantor, tak perlu dicampurtanganinya.

Lena naik pitam. Dia mengungkit-ungkit bahwa seluruh kekayaan yang kuperoleh, mutlak dari bapaknya. Kalau Lena tak menarikku, mungkin aku akan terus tenggelam di comberan kemiskinan dan tetap menjadi pecundang. Dia menambahkan, "Membantu anak sepupumu bekerja di perusahaan kita, sama saja menghancurkan semuanya. Saudaramu itu akan bertingkah. Mentang-mentang kerabat dekat bos, dia juga berlagak serupa bos. Bahkan kelak, disuruh-suruh suka membantah. Kalau kau tetap ngotot menerimanya bekerja, maka siap-siap angkat kaki dari rumah ini."

Ancaman menakutkankan, yang membuatku gemetar. Akhirnya kutolak secara halus keinginan anak sepupuku. Tak kuperdulikan wajah memelas yang dipertontonkannya. Sama tak perdulinya aku kepada wajah-wajah memelas yang silih-berganti menghiasi rumahku. Dari wajah memelas pengemis, sampai wajah mereka yang masih bertalian darah denganku.

Enak saja mereka itu. Aku yang bersusahpayah mencari penghidupan, mereka datang sekedar meminta. Sok kenallah. Sok dekatlah. Coba kalau aku orang miskin. Mungkin berbilang tahun baru mereka menjengukku. Itu pun ketika ada kemalangan menimpa, misalnya ada keluargaku yang meninggal. Atau ada kebahagiaan lain, seperti acara syukuran, khitanan, pesta nikah. Pokoknya, perduli amat sama mereka.

Berbilang tahun aku menjadi orang yang angkuh. Berbilang tahun aku merasa bahwa keluargakulah satu-satunya penghuni dunia ini. Hingga suatu saat roda kehidupanku berputar ke bawah. Perusahaan mertuaku bangkrut terimbas krisis moneter. Kami bersama-sama mencoba menyelamatkannya. Seluruh karyawan berjuang sekuat tenaga. Sayang, Tuhan tetap pada keputusan-Nya semula. Membangkrutkan perusahaan serta seluruh penghuninya.

Sekarang, setelah hampir tujuh tahun perusahaan itu bangkrut, aku juga sebenar-benar bangkrut. Aku tak memiliki harta apa-apa lagi, selain rumah tipe 45 yang kini menaungiku bersama Lena dan anak-anak. Sebagai balasan atas sikapku dulu, seluruh kerabat sengaja menghindar. Beruntunglah abang dan kakakku tak bersifat serupa, jadi masih ada orang untukku berbagi kesah. Tapi, ini pelajaran utama bagiku, bahwa setiap yang tiada menjadi ada, pada akhirnya akan tiada pula.

---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun