Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rasa Minder Itu Membuatku Sengsara

14 Juli 2019   08:04 Diperbarui: 14 Juli 2019   08:05 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Aku memang  berbeda dengan orang kebanyakan. Meski tak ada cacat yang menyertai diriku sejak bayi, tapi bentuk tubuh, wajah dan warna kulitku sangatlah tak sedap dipandang. Aku bertubuh pendek, nyaris satu meter limapuluh senti. Rambutku kribo. Wajahku persegi dengan batang hidung yang pesek, tapi di ujungnya bulat dan besar menyerupai jambu bol. Sementara kulitku hitam. Berbeda betul dengan kedua orangtuaku yang berkulit sawo matang.

Hal ini membuatku malu. Bukan apa-apa, teman-teman kekanakku  selalu menggelariku si Ateng karena pendek, atau kribo, keling, pesek. Setiap kumpul bermain, aku pun dijadikan olok-olokan, meski semua senang bergaul denganku tersebab aku orang yang penurut dan senang membantu teman.

Aku pun menjadi lebih senang mengurung diri di rumah, membantu orangtua berkebun, atau menyawah ke sawah tetangga. Padahal ibuku selalu mengingatkan supaya aku pergi saja bermain. 

Setelah bersekolah, dia semakin tak suka aku berada di rumah. Menurut ibuku, tanpa dibantu olehku, dia dan ayah masih sanggup mengerjakan semuanya. Aku hanya perlu belajar dan sekolah yang baik, plus pergaulan yang cukup dengan kekanak sebayaku. Tapi siapa yang tahan menjadi bahan olok-olok? 

Beruntunglah menginjak usia sepuluh tahun, aku memiliki kelebihan di banding teman-teman. Aku jago mengarang, walau minus pelajaran matematika apalagi hapalan. Setiap kali ada ulangan mengarang cerita, nilaiku selalu sepuluh. Bahkan ketika sekolah mengadakan lomba mengarang dongeng, akulah juara pertamanya. Aku sanggup mengalahkan kakak-kakak kelas  enam yang notabene memiliki pengetahuan lebih banyak ketimbang aku.

Hari-hariku lumayan nyaman. Aku merasa diterima di lingkungan teman-teman. Sejenak orang melupakan betapa buruknya diriku. Sejenak orang menjadi sangat suka berkawan dengan seorang Herman (nama samaranku), hingga setamat esde, tamatlah pula perkawanan yang indah-indah itu.

Aku sekolah SMP di kota. Kembali rimba yang ganas menyambutku. Teman-teman baru memiliki tingkah-laku yang baru pula. Aku kembali mendapat gelar-gelaran tak mengenakkan. Bahkan pada saat teman-teman bermain, aku selalu tak diikutsertakan. Kemampuanku mengarang, taklah mendapat simpati teman-teman. Mereka lebih menyanjung siapa saja yang jago menyanyi, bermain gitar dan cerdas dalam setiap mata pelajaran. Namun aku mencoba menjalani semuanya dengan tabah.

Ketika SMA, kondisi lingkunganku semakin memprihatinkan. Teman-teman lebih beringas lagi mengejekku. Alhasil, aku sempat memutuskan pindah sekolah. Tapi orangtuaku tak setuju. Kata mereka, bisa bersekolah sampai SMA saja seharusnya aku sudah bersyukur. Kalau mau pindah ke sekolah lain, tentu butuh biaya banyak. Akhirnya aku pasrah dan hanya mengeluhkan mengapa sampai ada orang-orang yang sangat senang menyakiti hati orang lain.

Mungkin apa yang kualami terlalu didramatisir. Di antara teman-temanku dari dulu, tak ada yang sampai mengasariku semisal memukul atau mengajakku berkelahi. Mereka semua hanya senang mengolok-olok, bahkan cenderung mengejekku. Berhubung apa yang mereka olokkan sesuai dengan keadaanku, aku menjadi sakit hati. Aku kecewa terlahir jelek. Padahal orangtuaku taklah berpenampilan buruk-buruk amat. Apakah aku bukan anak kandung mereka? Coba saja, penampilan saudara-saudaraku juga sangat berbeda denganku.

"Siapa yang mengatakan kau bukan anak kandung kami?" kata ibuku suatu kali aku mengeluhkan kondisiku. Dia hanya tertawa geli, dan menggantungkan keingintahuanku. Hati ini pun bertambah tak enak.

Setamat SMA, aku tak lagi berkehendak melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Selain kekurangan biaya, aku juga tak ingin terus-terusan menjadi bahan olok-olokan orang. Suatu kali kesabaranku pasti habis. Setiap manusia memiliki batas kesabaran juga. Dan itulah yang kutakutkan. Aku bisa menampar atau memukul orang yang mengolokku. Akibatnya aku hanya menambah musuh dan semakin dibenci orang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun