Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tetangga-tetangga

13 Juli 2019   14:58 Diperbarui: 13 Juli 2019   15:03 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Sum mengerling manja ke arahku. Secangkir kopi seketika berasa susu. Sepotong ubi bak seiris roti. Aku bingung mengapa selalu memerhatikannya beberapa hari ini. Kerling manja. Rima kata. Bahkan lenggak-lenggoknya seperti entok beriring.

Perbincangan bersama Julak perkara politik, terhenti sejenak. Aku tahu Julak ingin kami tetap di jalur resmi para lelaki; politik. Tapi perempuan ini lebih mengundang selera. Secangkir kopi dan sepotong ubi saja tak sanggup mengalahkannya.

Dia tetangga baruku. Dinding rumah kami berdempetan. Umurnya, hmm, mungkin tiga puluh lima tahun, atau lebih. Kabarnya dia janda dicerai laki sebelum usia pernikahannya genap satu tahun.

Aku selalu silap mata, menganggapnya berumur dua puluh tahun. Apalagi soleknya menggoda. Apalagi rambutnya sekarang basah selepas mandi. Bau shampo itu masih kentara. Hidungku juga beraroma Bvlgary.

Aku tergeregap membetulkan sikap saat Julak menyikutku. Malu rasanya dengan peci hitam yang nangkring di kepala.

"Cantik, ya?"

Aku menoleh ke arah Julak. Kumisnya bergerak-gerak lucu. Mirip kucing mengintip tikus.

"Hmm."

"Kok hmm? Jadilah cantiknya menurut Mas Jagat?"

"Mau beli apa, Dek Sum?" tanyaku mengacuhkan Julak.

"Beli gado-gado. Ini lagi diuleg. Tadi sudah mesen!" Ni yang menjawab. Perempuan ini, sudah bongsor juga bau karena hanya cuci muka dari pagi, eh... berbunyi pula. "Pedes, Mbak Sum?"

"Nggak usah pedes, Ni. Manis saja seperti orangnya," celetuk Julak. Seluruh warung tertawa. Mungkin kopi dan ubi di depanku turut tertawa.

Sum malu-malu kucing. Rona pipinya bersemu merah. Diam-diam dia melirik ke arahku. Meski tak muda lagi, sisa-sisa ketampananku masih ada. Ni pun mengerling. Terlihat kilat kebencian. Apakah dia cemburu?

"Mpok, Ni. Gorengan lima, ya!" Sum menerima kantong kresek dari tangan Ni. Gorengan itu ada di depan Julak. Pucuk dicinta ulam pun tuba. Aku merasakan angin surga dari bawah ketiaknya, ketika Sum mencoba meraih gorengan.

"Maaf ya, Om Jagat?" Sum malu-malu setelah gorengan berpindah ke kantong kresek. Sum kayaknya memang ada hati kepadaku. Harusnya minta maaf itu sebelum tangannya menjangkau gorengan. Bukan setelah gorengan berpindah tempat.

"Jangan om, Mbak Sum. Panggil saja; abang." Seluruh warung kembali tertawa. Mungkin ulekan di hadapan Ni ikutan tertawa. Kuihat si mpok itu seakan mendiamkan tawa ulekan dengan menggerusnya keras-keras. Seorang pembeli gado-gado sedang memburu pesanannya. Apakah Ni cemburu? Aku merasa bertambah tampan.

Khayal tentang Sum selalu mewarnai hari-hariku. Terbayang pagi-pagi dia menyiapkan sarapan nasi goreng spesial. Rambutnya selalu basah karena sisa bertempur tadi malam. Ada irama dangdut mengiringi lenggak- lenggok Sum. Ada semangat memacul hidup dalam dadaku.

Kehadiran Sum memberiku semangat kuda. Apa saja kulakukan asal bisa jadi uang. Rasanya tak rugi membelikan make up bagi wajah cantik. Membelikan pakaian baru bagi tubuh seksi.

"Mas!" Lamunanku buyar berganti wajah Ni yang lebar. Urusan gado-gado menjadi tuntutan. Ni menyorongkan uang dua puluh ribuan bakal beli kacang panjang. Agak kesal, kutatap Julak. Yang ditatap membuang wajah, sekalian membuang badan ke atas motor. Katanya, ada objekan. Motornya pun menderu menyisakan asap knalpot bau masem.

Di ujung gang kulihat Minah. Si betis Kendedes itu mungkin akan ke pasar. Dia keponakan Mpok Yem. Kabarnya dia akan kuliah di kota ini.

Terkadang aku bingung. Memilih Sum atau Minah. Sum berwajah cantik dan bertubuh seksi. Si hitam manis Minah memiliki betis kinclong Kendedes. Aduh Jagat, Jagat. Ingat umur.

Aku mempercepat langkah mengejar Minah. Setelah warung Ni tak kelihatan, aku mulai berani menyapa, "Mau ke mana, Neng?"

"Eh, Mang Jagat! Aku mau ke pasar," jawabnya manja.

Apa? Mang Jagat? Memangnya aku mamang becak?

"Sama, dong!"

Aku merendengi langkahnya. Kami berbincang akrab. Terkadang diselingi canda. Pandanganku berkali-kali melirik betisnya. Berkali-kali aku coba mengelus dada.

Andainya dia menjadi istriku, mungkin gula aren terasa coklat. Biarlah sehari-hari aku yang turun ke pasar. Memasakkannya makanan mengundang selera.

Tak akan kubiarkan betisnya berseliweran di dapur. Kalaupun harus ke dapur, akan kubentangkan karpet merahnya. Kuserahkan dadaku untuknya berlabuh. Kuberikan bahuku untuknya bergantung. Bergantung? Aku lekas menghapus kata itu. Minah tak bisa disandingkan dengan yang ada di kebun binatang.

Pokoknya jiwa-ragaku khusus untuknya. Amangoiii!!!

"Mang Jagat mau beli apa? Aku mau beli ikan."

"Apa yang akan kubeli tadi, ya! Sekarang aku rada pikun. Aku ikut neng ajalah sekalian mengingat-ingat apa yang akan kubeli." Otak kucing memang lincah kalau ada ikan di atas meja. Biarlah aku mengekorinya. Membawa kantong kresek ikan sarden. Membawa sekarung beras ukuran sepuluh kiloan. Abang kuat kok. Hahaha, apapun akan kulakukan untuk perempuan yang kuncintai. Ketika dia membeli kacang panjang, aku pura-pura teringat kacang pancang. Ketika dia makan tekwan, aku memang ingin makan.

“Makan tekwan ya, Mang!”

“Hmm, maaf aku tadi kelupaan bawa uang.”

“Nggak apa-apa, Mang. Santai saja, aku yang traktir.”

Kami berbincang ngalor-ngidol. Satu ngeloyor, satu di Kidul (nggak nyambung jek, ehem teringat Kidul Mbak Jora). Saat tekwan berada di hadapanku, terasa asap segar membuat laparku menggeliat. Aku mengambil saos, dan menyemprot tekwan. Tapi kok ada yang aneh. Kenapa kertasku berwarna darah.

Amangoi, ternyata Ni sedang tegak berkacang pinggang. “Jadi ini kerjaanmu di rental komputer?"

“Ini kan cuma cerita.”

“Cerita apaan! Kau sengaja, kau punya pacar, ya? Awas!” Ni menggulung lengan baju. Tubuh gempalnya semakin menyeramkan.

“Aku sebenarnya sangat tak bisa melupakanmu, Ni. Bahkan dalam cerita pendek ini saja, aku selalu membawa-bawa namamu; Sumarni. Tak  tahukah betapa cinta aku kepadamu.” Lengan baju diturunkannya. Senyum malu dikecupkan ke ujung rambutku. Sementara aku buru-buru mengirim cerita pendek ini ke Kompasiana. Ceritanya seperti terpenggal karena Ni memutus inspirasiku.

Ni menggandeng  tanganku. Sementara Sum, dan Marni yang duduk di dekat mamang rental, cekikikan sambil mengedipkan mata. Yang ini jangan cerita-cerita dengan Sumarni.  Bisa-bisa aku hanya makan punggung terus nanti malam.

---sekian---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun