Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku Bertekad Tak Menikah Lagi

12 Juli 2019   10:20 Diperbarui: 12 Juli 2019   10:47 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Sepeninggal suamiku karena kami bercerai, membuatku menjadi seorang perempuan yang trauma untuk didekati laki-laki. Bagaimana tidak. Perbuatan Maolo (nama samaran mantan suamiku) sangat menyakitkan hati ini. 

Aku telah memberikan seluruh kesetiaanku kepadanya. Bahkan berulang-ulang memberikan maaf atas perbuatannya yang menyalah. Tapi dasar bajingan ya...tetap saja dia bajingan. 

Di awal pernikahan kami, Maolo memang menunjukkan rasa cinta dan setianya. Tapi setelah aku melahirkan anak pertama, menyusul yang kedua, dia mulai bertingkah. Kutemukan beberapa kejanggalan dalam kehidupan kami. Maolo yang jarang pulang larut malam, tiba-tiba sering pulang dini hari. Asal ditanya, jawabannya sibuk di kantor. 

Padahal sesibuk apa sih pekerja di sebuah perusahaan supplier seperti dia? Belum lagi setiap bulan dia harus menginap di luar kota. Alasannya mau mengembangkan pemasaran perusahaan. 

Sebegitu pentingkah sehingga sampai menginap di luar kota sehari-dua? Tapi toh aku harus maklum. Aku tak perlu neko-neko. Anggap saja perbuatan Maolo demi kesejahteraan kami anak-beranak.

Kemudian kutemukan juga beberapa bungkus kondom di tas travellingnya yang tak sengaja kubongkar. Aku terkesiap. Bukankah sejak menikah kami tak pernah mengenakan perangkat KB? Jangan-jangan.... Aku langsung melabrak Maolo. 

Tapi apa yang kudapatkan, hanya dia balas melabrakku. Dia marah karena aku telah terlalu jauh membongkar privacy-nya. Privacy? Apakah layak sepasang suami istri saling berahasia-rahasiaan? 

Saat emosinya mengendur, Maolo meminta maaf. Dia mengatakan bahwa beberapa bungkus kondon itu adalah titipan temannya. Toh, aku tak bisa langsung menurunkan tensi marahku. Segera saja kuboyong kedua anakku ke rumah ayah-ibu. Aku mengadukan bahwa Maolo mulai selingkuh, bahkan bisa jadi sudah sering ber"jajan". Ibu menyabarkanku. 

Dia mengatakan bahwa barang temuanku di tas Maolo tak bisa memastikan bahwa dia telah menjadi suami yang "nakal". Siapa saja boleh menyimpan kondom, asal jangan memakainya untuk yang tidak-tidak. 

Ibu juga menyarankan agar aku harus lebih memikirkan keutuhan rumah tangga ketimbang bercek-cok dengan suami. Maka tiga hari di rumah ayah-ibu, aku langsung kembali menemui Maolo, setelah rang-ring telepon dan permintaan maaf darinya membuatku senewen.

Hanya saja Maolo ya tetap Maolo. Dari sas-sus yang beredar bahwa dia sedang dekat dengan sekretaris di perusahaan tempatnya bekerja, membuatku memiliki peran tambahan. Selain sebagai istri dan ibu anak-anak, aku merangkap spionase. 

Nyatanya, hasil yang kudapatkan memang brilian dan membuatku tak dapat menahan emosi. Maolo terperangkap olehku ketika sedang berindehoy dengan si sekretaris di sebuah kamar hotel melati.

Aku kembali memboyong kedua anakku ke rumah ayah-ibu. Kuadukan perbuatan Maolo yang sangat menyakitkan hati ini. Hasilnya, ayah-ibu merestui niatku bercerai dengan Maolo. Tak ada maaf lagi untuknya. Tak perduli dengan sungkemnya kepadaku. Hanya kamuflase!

Begitulah, aku akhirnya menjalan hidup sebagai single paretn. Berbagai cobaan menerpaku. Tapi aku menjalaninya dengan tegar, sehingga anak-anakku bisa tumbuh mekar dan bersekolah. 

Mengenai laki-laki yang mendekatiku, tak terhitung lagi rasanya. Maklumlah, demi memenuhi kebutuhan sehari-hari, aku banting stir dari nyonya rumah menjadi penjual gado-gado dan beragam penganan. Tentu saja pelangganku banyak, terutama laki-laki. 

Mereka yang mengetahui aku menjanda, selalu menyembur-nyemburkan bisa. Aku hanya menggeliat, kemudian menjauh. Aku tak ingin terjebak di kubangan yang sama. Cukuplah Maolo yang telah menghancurkan keutuhan rumah tangga kami. Tak perlu yang lain menambahi.

Hanya saja, ibu terkadang amat kasihan kepadaku. Dia menyarankan kalau ada laki-laki yang kecantol denganku dan dia adalah laki-laki bertanggungjawab, sebaiknya aku terima saja. Ketimbang aku kecapekan sendirian mencari penghidupan untukku dan dua anakku.  

Ibu semakin sering menyarankan, bahkan cenderung mendesakku bersuami lagi. Terlebih-lebih setelah Bob (nama samaran) sering bertemu ibu. Dia selalu menanyakan kabarku. Sekali dua kami bertemu, tapi aku selalu mencuekkannya.

Bob masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan ibu. Usianya sekitar lima tahun di atasku. Status kami sama, dia duda aku janda. Bedanya dia duda tanpa anak, sedangkan aku dengan dua anak. Bedanya lagi, dia bekerja mapan di sebuah perusahaan ekspor-impor, sementara diri ini hanya penjual gado-gado dan beragam penganan.

Menurut ibu dia lelaki baik. Dia menjadi duda karena menceraikan istrinya yang bertingkah bejad. Ibu berharap aku mau menerimanya sebagai suami. Kasihan anak-anakku. Hidup mereka ganjil tanpa kehadiran seorang ayah. Tapi apakah aku bisa menghapus masa kelam bersama Maolo?

Sangat sulit memang. Aku trauma. Maka itu setelah semakin sering berbincang dengan Bob, aku selalu berusaha mencari-cari sedikit ketimpangan tingkah lelaki itu, sehingga bisa kujadikan bumerang bagi ibu. Artinya, aku memiliki alasan untuk tidak memilih Bob menjadi suamiku. Sayang sekali, sampai berbulan berteman, tak sedikit pun ketimpangan tingkah lelaki itu. 

Dia terlalu baik. Terlalu suci. Haruskah aku goyah? Mestikah aku menuruti kehendak ibu? Lagi pula kedua anakku sudah semakin lengket dengan Bob. Oh, Tuhan, aku bertambah bimbang!

Setahun berteman, aku rubuh total. Pertahananku jebol. Aku menerima keinginan Bob memperistriku. Akibatnya, ibu langsung sumringah. Ayah menyokong. Kedua anakku, ya... sepertinya tak mau membantah. Belakangan, rencana lamar-lamaran mulai dirembukkan. 

Saat itulah aku tanpa sengaja  bertemu Gull (nama samaran), teman SMA-ku ketika aku tinggal bersama paman di kota SW. Kami berbincang sangat hangat. Dia terheran-heran, ternyata kami tinggal di kota yang sama. Padahal katanya, dia sudah menetap di kota ini hampir lima tahun. Masa yang cukup lama.

Dari bincang-bincang tentang masa lalu, akhirnya pembicaraan beralih ke hal spesifik. Dia belum berkeluarga. Sedangkan aku seorang janda beranak dua yang sebentar lagi akan menikah. Ketika dia menanyakan siapa calon suamiku, langsung saja kubuka dompet dan menunjukkan foto Bob.

Gull tercekat. Dia meminta maaf karena merasa sangat mengenal dekat Bob. Lalu, bagai petir di siang bolong, dia menyarankanku membatalkan rencana menikah dengan lelaki itu. Bob seorang gay. Gull yang jujur mengatakan dirinya gay, pernah berpacaran dengan Bob. Seketika dunia kurasakan berpusing. Kuputuskan melabrak Bob.

Dia mencoba mengelak dengan tuduhanku tentang dirinya yang gay. Tapi saat kutemukan dia dengan Gull di rumah ayah-ibu, dia berubah ibarat serdadu kalah perang. Dia tertunduk sambil mengatakan dirinya gay.

Akhirnya hingga sekarang, aku tetap bertahan menjadi seorang single parent bagi anak-anakku. Biarlah sampai kapan pun tetap begini. Aku tak ingin menanggung resiko bila mesti menikah dengan lelaki yang salah. 

---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun