Dia terlalu baik. Terlalu suci. Haruskah aku goyah? Mestikah aku menuruti kehendak ibu? Lagi pula kedua anakku sudah semakin lengket dengan Bob. Oh, Tuhan, aku bertambah bimbang!
Setahun berteman, aku rubuh total. Pertahananku jebol. Aku menerima keinginan Bob memperistriku. Akibatnya, ibu langsung sumringah. Ayah menyokong. Kedua anakku, ya... sepertinya tak mau membantah. Belakangan, rencana lamar-lamaran mulai dirembukkan.Â
Saat itulah aku tanpa sengaja  bertemu Gull (nama samaran), teman SMA-ku ketika aku tinggal bersama paman di kota SW. Kami berbincang sangat hangat. Dia terheran-heran, ternyata kami tinggal di kota yang sama. Padahal katanya, dia sudah menetap di kota ini hampir lima tahun. Masa yang cukup lama.
Dari bincang-bincang tentang masa lalu, akhirnya pembicaraan beralih ke hal spesifik. Dia belum berkeluarga. Sedangkan aku seorang janda beranak dua yang sebentar lagi akan menikah. Ketika dia menanyakan siapa calon suamiku, langsung saja kubuka dompet dan menunjukkan foto Bob.
Gull tercekat. Dia meminta maaf karena merasa sangat mengenal dekat Bob. Lalu, bagai petir di siang bolong, dia menyarankanku membatalkan rencana menikah dengan lelaki itu. Bob seorang gay. Gull yang jujur mengatakan dirinya gay, pernah berpacaran dengan Bob. Seketika dunia kurasakan berpusing. Kuputuskan melabrak Bob.
Dia mencoba mengelak dengan tuduhanku tentang dirinya yang gay. Tapi saat kutemukan dia dengan Gull di rumah ayah-ibu, dia berubah ibarat serdadu kalah perang. Dia tertunduk sambil mengatakan dirinya gay.
Akhirnya hingga sekarang, aku tetap bertahan menjadi seorang single parent bagi anak-anakku. Biarlah sampai kapan pun tetap begini. Aku tak ingin menanggung resiko bila mesti menikah dengan lelaki yang salah.Â
---