Tentu saja bukan Rum (nama samaranku) namanya bila tak bisa menaklukkan hati seorang Ani. Aku berjuang dengan berbagai upaya agar dia luluh. Dari memberinya hadiah-hadiah berharga murah, sampai yang mahal. Dari meneraktirnya di warteg, hingga di restoran mewah. Coba siapa yang tak terluluhkan. Istimewanya ketika aku menghadiahinya kalung emas bemata berlian, sudah jelas dia klepak-klepek. Meski sesungguhnya uang untuk membeli itu semua sengaja kuambil diam-diam dari tabunganku berdua Ir.
Hampir dua bulan setelah Ani bersedia berpacaran denganku---tentu saja setelah kami berhubungan badan sekali-dua--- timbul niat di hati ini menikahinya. Aku tergoda melihat beberapa rekan kerja memiliki dua istri. Bahkan seorang sopir perusahaan yang lumayan tua, dikabarkan memiliki istri empat. Bagaimana mungkin aku yang muda bisa kalah.
Akhirnya dengan perjuangan berat, termasuk memandulkan ancaman Ir yang meminta cerai, pernikahan pun terjadi. Â Isa sengaja datang menghadiri pesta kecil-kecilan yang kuselenggarakan. Dia menegur, sekaligus mengingatkan aku tentang wejangan-wejangannya. Bahwa inilah yang mungkin ditakutkan Allah bila memberikan aku kelapangan harta. Aku menjadi lupa kepada-Nya. Bahkan aku nekad beristri dua, walau Ir sesungguhnya tak rela. Lagi pula apakah aku sanggup berlaku adil terhadap mereka? Apakah aku bisa memenuhi kebutuhan hidup keduanya?
Perkataan Isa telak memukulku. Namun apa mau dikata, semua telah terjadi. Yang penting  aku harus kembali ke jalan Allah. Aku tak bolah buta oleh kenikmatan dunia. Beruntunglah hingga sekarang keluargaku tetap adem ayem, dan kami menjalankan perintah Allah dengan taat.
---