Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Menghidupi Keluargaku dari Jalan Maksiat

5 Juli 2019   07:31 Diperbarui: 5 Juli 2019   07:53 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Meskipun seorang sarjana lulusan universitas swasta ternama, ternyata tak membuatku mulus memperoleh pekerjaan tetap dan memuaskan. Aku terpaksa berjibaku mencari uang dengan pekerjaan serabutan. Terkadang sebagai sales, di lain waktu memburuh di pasar. Kondisi demikian membuatku pusing tujuh keliling. 

Apalagi kebutuhan hidup rumahtanggaku bertiga dengan Ratih (nama samaran), istriku dan Lukito (nama samaran), anakku, selalu mendesak. Dapat dibayangkan bagaimana caraku memeras otak demi menyelamatkan hidup hari per hari, sekaligus membayar hutang-hutang di warung yang semakin menumpuk.

Terkadang terbersit juga keinginan mengikuti jalan pintas seperti teman-teman, misalnya menjadi pengedar narkoba atau lebih parah lagi menjadi perampok. Tapi tak dapat kubayangkan kelak nasib anak-biniku, manakala aku tertangkap dan pintu penjara menanti. 

Siapa lagi yang membela keluargaku? Siapa yang dapat memenuhi keperluan hidup mereka? Andaikan istriku gelap mata, bisa saja setelah aku dipenjara berbilang tahun, dia juga mengambil jalan pintas, yakni menikah dengan lelaki lain. Tentu tak ada yang salah ketika dia mengungkapkan alasan klise; demi keberlanjutan hidup mereka.

Akhirnya dalam kepekatan hidup yang mendera, aku bertemu seorang teman lama di sebuah mall. Aku sampai pangling melihatnya. Dia bukan lagi seorang pemuda lusuh yang kukenal berbilang tahun lalu. Dia sangat parlente, dibalut pakaian bermerk mahal. Padahal kutahu, SMA saja dia tak tamat. Dia suka membolos. Kepintarannya pun di bawah rata-rata. 

Dia mengajakku minum-minum di caf kecil. Di situlah kuungkapkan masalah kondisi keluargaku. Kuharap dia dapat membantuku. 

Sambil tertawa, dia pun memberikanku jalan pintas yang sangat mulus. Nyaris tanpa resiko. Tanpa ada kecenderungan ditangkap aparat keamanan. Kecuali mungkin, kalau tak hati-hati, paling tidak aku terkena penyakit jorok. 

Oh, ya, di sini kujelaskan bahwa temanku itu adalah seorang gigolo. Dengan pekerjaan yang menurutnya cukup mengasyikkan, dia dapat hidup berleha-leha. Dia berharap aku dapat mengikuti jejaknya. Dia yakin aku bakalan laris-manis. Karena menurutnya penampilanku sangat menjual. 

Dengan tubuh proporsional, dan warna kulit sedikit lebih gelap. "Ayolah, turutilah jalanku. Kau pasti sukses. Kau kelak tak perlu pusing menyelesaikan masalah ekonomi keluarga," katanya kala itu.

Aku tak langsung mengiyakan, meskipun dia telah memberikanku daftar tante-tante girang atau perawan tua, yang kelak menjadi pelangganku. Aku masih takut dosa, sekaligus tak enak dengan anak-istri. Otomatis aku toh telah mencoreng cinta-kasih istriku. Lalu, apa jadinya hidup anakku, bila dia kuberi nafkah dari pekerjaan gigolo?

Hampir setengah bulan aku tak bisa memberi jawaban, meskipun berulang-ulang temanku meminta kepastian. Karena kebutuhan hidup yang semakin menggila, dan omelan istri yang bagai sembilu menyayat telinga, akhirnya dengan sangat terpaksa kuputuskan mengambil pekerjaan sebagai gigolo itu. Memang pada awalnya aku canggung. Namun lambat-laun terbiasa, sehingga aku merasakan pekerjaan itu sangat mengasyikkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun