Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Deru Debu V

13 Juni 2019   11:10 Diperbarui: 2 Agustus 2019   14:38 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Don menyerang lebih dulu dengan bernafsu. Sebuah bogem bersarang di bibir Kecik. Anak itu langsung terjengkang. Darah segar mengalir dari ujung bibirnya.

"Cuma segitu kehebatan anak buah lo?" sindir Mark Picik.

"Sebentar lagi kita lihat hasilnya, Pak Bos. Gue yakin dia bakalan menghajar Don sampai mampus." John Peking sebenarnya cemas. Tapi dia tak ingin Mark Picik tahu tentang hal itu.

Bagi Kecik pukulan Don tak seberapa dibanding pukulan ayahnya. Tadi, dia hanya belum siap. Terkejut karena dipaksa beradu dengan seseorang yang bukan musuhnya. Tanpa alasan tepat, dia kerap tak ingin berkelahi. Dia tak ingin mencari musuh. Namun melihat tatapan penonton yang mengepung itu, tatapan John Peking yang memaksanya berjuang, membuat Kecik harus memantapkan hati. Anggap saja ini pergulatan seperti dia bergulat dengan Salim saat berebut duluan memanjat mangga berbuah ranum kepunyaan Haji Ke'adan. Salim itu temannya sekelas di SD Pilihan.

"Ha, lihatlah dia! Hehehe, kekuatannya boleh diadu," teriak John Peking ketika melihat Kecik berdiri seperti tak merasakan apa-apa. Don sendiri terkesiap. Biasanya musuh yang berhasil dia bogem dan terjatuh, akan sulit bangun seketika. Kalaupun bisa bangun, jalannya terhuyung-huyung. Musuhnya pasti mengaku kalah. Tapi Kecik? Ah, anak itu tak bisa dianggap sebelah mata. Don tak ingin dipermalukan di depan Mark Picik.

Don menyerang dengan sepenuh tenaga. Bogemnya melayang dengan kekuatan beberapa kilogram. Saat bogem itu hampir mengenai wajah Kecik, Don tiba-tiba terhuyung. Kecik sedemikian cepat menghindar. Sedemikian cepat pula dengkulnya terangkat. Dan, huuuk! Dengkul itu bersarang di perut Don yang tanpa pertahanan.

Don merasakan perutnya bagaikan menghantam ujung kayu balok. Betapa kerasnya dengkul anak itu! Matanya berkunang. Dia ingin menjerit dan mengaku kalah. Sayang, emosi membuatnya berang.

Dia selekasnya berdiri sambil menahan sakit di ulu hati. Dia menyerang membabibuta.  Bogemnya hanya menyentuh angin. Pada saatnya, pukulan Kecik bersarang di dagu Don. Suara berdebam menjadi pertanda Don terjatuh mencium tanah dan tak bisa bangkit lagi.

Mark Picik tanpa sadar bertepuk-tangan. Padahal pantang baginya bertepuk-tangan untuk anak buahnya. Dia tak ingin anak buahnya kelak belagu. Pengecualian terhadap Kecik, dia sampai lupa akan komitmennya sendiri. Dia kagum pada kehebatan Kecik. Mark Picik sangat tak mempercayai anak itu akan memenangkan pertarungan. Nyatanya dia salah. Begitupun dia tak ingin terlihat merasa bersalah. Dia tetap tersenyum sambil menepuk-nepuk bahu John Peking. Ya, ya. Penguasa selalu ingin dianggap benar.

John Peking lekas memeluk Kecik. Dia memuji-muji mantan musuhnya itu. Di bagian samping bekas pergudangan, mereka merayakan kemenangan. Beberapa bungkus Nasi Padang, menjadi hadiah bagi kemenangan itu.

"Gue belum tentu bisa mengalahkan Don. Hebat! Lo memang hebat, Kecik." John Peking menepuk-nepuk lengan Kecik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun