Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Deru Debu V

13 Juni 2019   11:10 Diperbarui: 2 Agustus 2019   14:38 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lelaki yang memperkenalkan dirinya sebagai teman John Peking, tersenyum. Dia mempermain-mainkan batang rokok di sela jemari tangan. "Panggil saja aku Mardan," lanjutnya tanpa diminta. "Kalau kau mau tahu, tujuan awal kami hanya ingin menyelamatkanmu dari serangan massa. Tak apa sebagai permulaan. Dulu semasa aku pertama kali belajar mencopet, aku sudah mencicip dinginnya ubin penjara. Merasakan sosoran ujung sepatu polisi dan sipir di bokongku. Bersyukurlah kau bisa kami selamatkan." Dia menatap awan yang saling mendahului di atas sana. "Tapi kami memutuskan kau ikut tujuan berikutnya. Kita akan ke markas. Kita harus mengadakan rapat karena nanti malam kita akan berperang dengan Geng Tengkorak. Kau tahu Geng Tengkorak?"

Kecik menggeleng. Dia sama sekali tak mengetahui apa-apa tentang geng. Dia hanya mengenal gerombolan John Peking yang kerap meresahkan masyarakat.

"Geng Tengkorak itu sama seperti kita, para begundal. Mereka telah mencelakai salah seorang kawan kita di arena hiburan rakyat tadi malam. Sekarang kita harus membalasnya. Nah, kau sudah siap? Atau kau takut berperang?"

Kecik berpantang untuk satu kata; takut. Dia membusungkan dada seolah menyombongkan diri. Padahal dia buta sama sekali tentang perang melawan Geng Tengkorak.

Mereka hening. Mobil pick up memasuki lorong sempit menuju sebuah lokasi bekas pergudangan. Kecik melihat beberapa lelaki yang langsung melambai, sebelum mobil itu sebenar berhenti di gerbang bekas pergudangan itu.

Aroma tak nyaman menyergap. Bau pengap, asap rokok, minuman keras, membuar dari dalam bekas pergudangan itu. John Peking keluar dari kabin mobil. Mardan melompat dari bak, disusul Kecik. Seorang lelaki gajah menyuruh mereka masuk ke dalam ruangan di sudut bekas pergudangan. Bukan persis sebuah ruangan tepatnya. Hanya tempat yang dikelilingi tiang-tiang centang-prenang berdinding papan yang dipasang jarang-jarang. Lebih pasnya seperti kandang sapi. Beberapa peti dari kayu racuk disusun sembarangan sebagai tempat duduk. Di tengah-tengah ruangan sebuah meja, tampaknya terbuat dari jati, dihiasi belasan botol minuman keras, lebih dua puluh bungkus rokok beragam merek dan lima bungkus kacang kulit ukuran satu kilogram.

Saat rombongan di dalam mobil pick up duduk di atas peti kayu, seorang lelaki berwajah bulat, berambut gondrong dan lobang hidung yang besar, telah duduk di atas peti berukuran paling besar. Dia adalah Mark Picik. Dia bos paling bos dari gerombolan John Peking. Juga bos dari gerombolan lain yang tersebar hampir di semua sudut kota Jakarta. Sebaris grafiti di dinding bekas gudang itu, membuat Kecik menebak-nebak bahwa seluruh gerombolan diberi gelar; Kapak Wong. Gelar yang membuat bulu kuduk merinding. Gelar yang membuat orang keder terlibat masalah dengan gerombolan si Kapak Wong. Ada rasa bangga terbersit di lubuk hati Kecik. Meskipun muda usia dengan tubuh jauh dari sebutan garang, tapi dia telah diterima memasuki dunia Kapak Wong yang gelap dan menakutkan.

Tak sampai semenit setelah Kecik memantapkan bokongnya di atas peti, sekejap bermunculan lelaki-lelaki lain dan duduk sembarangan mengelilingi meja. Ada juga seorang-dua perempuan. Kecik mengira jumlah mereka hampir tiga puluhan. Selebihnya, gerombolan lebih besar berkeliaran di luar sana.

Basa-basi dari Mark Picik sedikit banyaknya membuat Kecik bosan. Mungkin seperti itu pula yang dirasakan orang-orang berwajah masam di sekelilingnya. Mark Picik sibuk dengan cerita masa lalunya yang menyedihkan. Kemudian beralih kisah-kisah petualangan yang menurutnya sangat heroik. Bahkan cerita kehebatannya menaklukkan Jakarta. Hingga dia benar-benar disegani sebagai pemimpin Kapak Wong. Hmm, walaupun seperti melebih-lebihkan, toh  kata-katanya itu benar.

Bagaimanapun bukannya mudah mengepalai gerombolan begundal yang tak jarang mengamuk tanpa pasal, suka berkhianat kalau pembagian hasil kejahatan tak sama rata, dan senang mennentang di belakang bos.

Kebosanan  berhasil terlerai ketika Mark Picik mengemukakan rencana mereka menyerang ke sarang Geng Tengkorak. Rencana itu digaungkan dengan garang. Para pendengarnya menjadi semangat. Mereka meneriakkan yel-yel Kapak Wong. Meneriakkan yel-yel mampuskan. Masing-masing menuntaskan semangatnya dengan menenggak minuman keras di botol. Menuntaskannya dengan rokok, juga pertarungan jemari dengan kulit kacang yang getas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun