Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Deru Debu V

13 Juni 2019   11:10 Diperbarui: 2 Agustus 2019   14:38 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sepatah ucapan yang membuat jantung Kecik berdetak keras. Dia tahu selama ini Musa pura-pura tak mau tahu  hubungannya dengan John Peking. Tapi sekarang, mungkin ketakmautahuan itu beralih menjadi ledakan emosi yang terpendam. Kecik bisa meraba ledakan emosi itu dari kilat di mata tuanya.

"Kakek sudah tahu tentang...?"

"Ya, aku tahu semuanya sebelum kau menyadari terseret arus yang diciptakan John. Kau menjadi bandit kecil yang hidup dari kecemasan, ketakutan dan sumpah-serapah orang. Kau telah silau oleh harta." Dia mematikan sigaret di atas kayu bale-bale. Seolah dia ingin mematikan emosi yang meledak-ledak itu. "Ya, aku tak bisa menyalahkanmu. Harta selalu menyilaukan orang. Aku pun pernah terjebak kesilauan itu. Aku pernah merasakan dinginnya ubin penjara, buah perbuatan kesilauan itu. Tapi aku cepat sadar. Hidup bukan hanya sekali. Hidup itu empat kali; alam rahim, fana, barzah dan akhirat. Dan aku tak ingin kesusahan di salah satunya, meskipun aku tak bisa mengelak di alam yang kedua; alam fana."

"Kakek seperti ustadz saja." Kecik mencoba meredakan ketegangan. Kendati perasaan tak nyaman membuat tubuhnya panas dingin.

"Bukan hanya ustadz yang bisa dan harus berbicara begitu. Setiap orang minimal menjadi ustadz bagi dirinya sendiri. Dan ingat, aku tak ingin dikotori oleh uang haram. Itulah sebabnya aku seperti menjauhimu, terutama menolak setiap uang pemberianmu. Semoga kau mengerti."

Selepas itu Musa berusaha kembali ke alamnya. Artinya dia menjadi Musa sehari-hari tanpa mengedepankan emosi di atas segala-galanya. Dia menambahi perbincangan tentang kenangan lampau, yang cengeng, atau bisa jadi terlalu melankolis. Begitu  anak perempuan Musa yang senang menunduk-nunduk seperti selalu mencari sesuatu itu menghidangkan dua gelas teh menggelegak uap, kenangan melankolis itu berganti senda-gurau. Amat gairah terdengar di malam yang ramah. Hanya saja lain yang menggeliat di hati Kecik.

Kecik telah mengulam semua sikap dan perkataan Musa. Apapun tingkah Musa selanjutnya---menjadi Musa yang kembali ke alamnya---tapi Kecik merasa terasing. Dia merasa bersalah.

Saat rebah di lapik tipis ruang tengah rumah, ingatannya mengembara ke masa-masa awal ketersesatannya di negeri macet; Jakarta. Dia merasakan hawa keluguan menggeregoti hari-harinya. Sampai perkenalan dengan Musa, pikiran dan tingkah lakunya tetap kampong. Dusun! John Peking-lah yang membuat pikiran dan tingkah lakunya menjadi cerdas dan mantap menjadi anak kota. Cerdas membohongi orang. Pura-pura baik, tapi hati busuk. Pura-pura membantu, namun niat utama mencopet, menjambret, menodong, merampok. Ya, biarlah saja semua mengalir apa adanya. Dia telah diracuni John Peking. Apapun jadinya, orang yang diracun, mabuk sendiri oleh racun itu. Dia terbawa pengaruh yang tak bisa mengedepankan akal sehat.

Persetanlah dengan Musa. Masa anak bawangnya di lingkungan gerombolan John Peking, harus segera diakhiri. Kecik mesti diwisuda menjadi bandit kecil yang mumpuni. John sudah meyakini bahwa telah cukup pelajaran yang  dikucurkannnya ke anak kurus itu. Dia tak usah lagi menjadi mata-mata saja. Dia harus menjadi tokoh utama, pagi ini di sebuah pasar yang ramai, macet dan padat keringat.

"Kau siap?" Seolah seorang komandan, John Peking bertanya tentang siap tidaknya bawahannya. Pinggiran ruko yang cat dindingnya mengelupas, menjadi saksi dilepasnya  orang kampung ke dunia perbanditan yang sebenarnya.

Kecik merasa lebih tinggi dan tegap dari hari-hari sebelumnya. Dia mendengus serupa banteng. Dia mengingat bagaimana cara memperhatikan mangsa. Apakah mangsa itu dari dusun atau dari kota. Apakah mangsa itu membawa uang atau barang berharga, atau hanya melenggang kangkung dengan kantong yang bolong. Mengenai ilmu sumpit sudah mapan di hati Kecik. Ilmu sumpit adalah ilmu seorang pencobet yang harus sigap memindahkan dompet seseorang ke kantongnya sendiri. Tak pula canggung dia dengan ilmu gertak, dan ancam. Terlebih-lebih ilmu angkat kaki alias lari dari kejaran massa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun