Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Artikel Utama

Cerpen | Mak Ates si Penjual Kates

28 Mei 2019   22:58 Diperbarui: 2 Juni 2019   21:19 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siang yang terik memanggang pasar. Dahagaku memuncak. Perut panas membuatku memarkirkan mobil di bawah pohon mahoni.

Pandang kuedarkan. Tak tampak satu pun lapak yang kucari. Mang Parkir mengarahkanku ke lorong sempit. Di ujung lorong akan kutemukan apa yang kucari.

"Terima kasih, Mang." Aku melalui lorong sempit itu.  Jerat-jerit pedagang menyuruh singgah. Aku menggeleng sambil menyapu keringat di dahi.

Betapa panas siang ini. Aku ingin merebahkan badan di kamarku yang berpendingin ruangan. Hampir saja aku memutuskan pulang. Biarlah Bik Nah yang turun tangan. Namun seorang tua yang menggelar lapaknya tanpa atap terpal, merampok mataku. Dia hanya mengenakan payung hitam yang bolong di beberapa bagian. Beberapa kali dia mengucek mata seolah menghalau lamur.

Dari kerut usia yang memeta di wajahnya, membuatku teringat mendiang Mak. Dia meninggal dunia lima belas tahun lalu. Mungkin kalau masih hidup, mendiang Mak akan setua perempuan di lapak.

"Celana baru, Om. Masih hangat dari pabrik. Bisa dipilih dan ditawar." Seorang perempuan berbedak menor, menawarkan dagangannya. Bau sinyongnyong menyergap hidung. Aku menampik dengan mengangkat tangan. Perlahan aku mendekati perempuan tua itu. Berjongkok di dekat bakul berisi timbunan kates ranum. 

"Mari, Nak. Kates ini pilihan. Hasil metik dari kebun sendiri. Matangnya pas. Manisnya juga enak."Perempuan tua itu meringis. Dia mengurut-urut ujung jempol kakinya. Katanya asam urat sering kambuh.

"Kenapa tak nyuruh anak berjualan, Mak?" Aku meraih kantong kresek yang dia angsurkan. Tak perlu rasanya pilah-pilih kates. Semuanya pilihan.

"Anak Mak bekerja di rumah sakit."

Mungkin anak Mak cuma sebagai cleaning service di rumah sakit, jadi penghasilannya tak mencukupi membiayai seorang emak hingga terpaksa berjualan kates. Aku terkejut keika Mak mengatakan anaknya seorang dokter.

Darahku seketika mendidih? Betapa si anak tak berperasaan. Apakah dokter tak bisa menghidupi seorang emak? Kalau saja ini bukan Ramadan, aku pasti mengoceh tak karuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun