Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Ayahku Tukang Sampah

7 Mei 2019   10:01 Diperbarui: 7 Mei 2019   10:02 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Aldi tak biasanya murung saat pulang sekolah. Setelah membuka sepatu, dia duduk merenung di kamar. Terbayang di matanya kejadian besok pagi. Teman-temannya pasti mencemooh ketika dia bercerita di depan kelas.

Tadi pagi saat pelajaran bahasa Indonesia, Pak Tigor berkata, "Besok semua murid harus sudah siap bercerita di depan kelas tentang ayah masing-masing. Tentang pekerjaannya. Tentang apa saja."

Bagaimana mungkin Aldi menceritakan tentang pekerjaan ayahnya? Ayah Aldi sehari-harinya bekerja bersama sampah. Dari pagi hingga pukul empat sore. Ketika pergi masih wangi sabun mandi, pulang-pulang bau busuk.

Aldi memang tak malu menjadi anak seorang tukang sampah. Karena dari sampah-sampahlah ayahnya menghidupi mereka. Dari sampah-sampahlah Aldi bisa bersekolah. Tapi kalau harus menceritakannya di depan kelas, kemudian dicemooh. Oh...

"Lho, bukannya makan siang, malahan melamun!" Kak Sita tiba-tiba muncul di dekat Aldi. "Apa Aldi tak lapar?"

Wajah Aldi merah seperti udang rebus. Dia malu tertangkap basah sedang melamun.

"Nggak kok, Kak. Aldi hanya mengkhayal."

"Melamun dan mengkhayal itu sama saja. Apa kedua persamaan kata itu tak Aldi pelajari di sekolah?" 

Aldi membisu. Dia ingin menceritakan masalah yang sedang dihadapinya. Tapi, apakah Kak Sita tak marah? Bagaimana kalau Kak Sita mengadu kepada Ayah? Ayah tentu akan sedih.

"Boleh nggak besok Aldi bolos sekolah?" Tanpa sadar Aldi mengucapkan kata-kata yang paling dibenci Kak Sita. Lihat saja, mata Kak Sita langsung melotot. "Soalnya Aldi malu!" 

Mata Kak Sita kembali teduh. "Malu kenapa, Aldi?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun