Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Attatta

27 April 2019   21:43 Diperbarui: 27 April 2019   23:58 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Komplek perumahan di Jalan Kolonel Wieh itu, sama saja dengan komplek perumahan untuk rakyat miskin lainnya. Atapnya nyaris serupa, terbuat dari asbes, meski satu-dua telah direnovasi menjadi genteng beton. Bentuknya hampir sama, kotak-kotak, walau satu-dua telah direnovasi model minimalis atau ditingkatkan menjadi dua. 

Aku, Suami dan Juang, anakku, telah menempati salah satu perumahan di komplek itu selama dua bulan lebih. Masa yang cukup singkat, tapi sangat lama bagiku. Penyebab pertama, karena suasana kumuh yang memerangkap, juga jalan becek di depan rumah yang selalu mengubang ketika hujan deras turun lebih setengah jam. Penyebab kedua dan utama, adalah tetangga sebelah rumahku yang menyebalkan.

Tepatnya sih bukan sepasang suami-istri yang asal Manado itu yang membuatku menjadi demikian. Mereka termasuk orang yang ramah. Bahkan ketika tercium aroma masakanku oleh mereka, sering timbul tanya, "Sedang masak apa, Mbak?" Biasanya aku membalas tanya itu dengan senyuman. Biasanya pula dilanjutkan dengan sepiring masakan kuantar ke rumah mereka. Tak baik membiarkan orang yang mencium masakan kita tak mencicipinya sekalian. 

"Anaknya itu yang membuatku sebal, Mar!" kataku kepada Maryati, ketika kami bertemu di pasar pagi sekitar seratus meter dari rumahku. "Siapa namanya?"

"Attatta! Maksudmu anak pasangan Manado itu, kan?" Dia memilih ikan dencis yang bagus. Tapi dia buru-buru meletakkannya, karena ikan dencis itu sama sekali busuk. Dia memilih ikan gembung seperti yang telah ditimbang dan sudah kubayar. 

"Iya! Nakalnya bukan main! Kemarin dia memukul Robert sampai berdarah hidungnya. Kemarinnya lagi mencubit Raisa. Pokoknya, hampir setiap hari dia membuat masalah dan menyebabkanku pusing tujuh keliling. Kenapa sih anak sebandel dia bisa hidup!" 

Maryati tersenyum. Dia membayar ikan gembung itu, lalu kami buru-buru pulang. Hatiku yang rusuh-rusuh, semakin merusuh mengkhawatirkan Juang. Memang selama ini Attatta belum pernah mengganggu anakku. Namun suatu saat pasti terjadi. Aku tak bisa membayangkan ketika menemukan Juang dengan kening berdarah, serta sedang meraung-raung di dalam rumah. Penyebab pastinya adalah Attatta. Oh, betapa berdosanya aku membiarkan Juang menjadi bulan-bulanan anak brengsek itu.

"Itulah, kenapa pula dia tak disekolahkan orang tuanya saja!" gerutuku. Maryati membuka pagar pintu rumahnya.

"Mau disekolahkan di mana? Di SD, usianya belum cukup. Kalau TK, orang tuanya belum sanggup membiayai. Juang sekolah di mana?"

"TK Berdikari! Untung saja dia bersekolah, jadi dia tak terlalu sering bertemu Attatta. Aku takut dia terpengaruh. Aku takut dia senakal Attatta. Anak-anak selalu suka mencontoh apa yang dilakukan temannya kan, Mar?"

"Untung saat pindah ke komplek ini anak-anakku sudah remaja, jadi mereka tak perlu berteman dengan Attatta. Tak berteman, artinya mereka tak terpengaruh kenakalannya." Dia mengajakku singgah sebentar di rumahnya. Tapi buru-buru aku menolak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun