Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Koridor Rumah Sakit

26 April 2019   16:26 Diperbarui: 26 April 2019   16:52 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Koridor rumah sakit sudah sepi. Lampu temaram di sepanjang lorong yang memanjang dari ruang induk menuju sal-sal, kelihatan begitu menyeramkan. Kadang kau dapat merasakan angin semilir berhembus menyebarkan bau bunga kenanga. Atau kau dapat merasakan ada sesuatu yang melintas. Seperti kilat. Sangat cepat, sehingga bola mata tak menangkap jelas apakah yang melintas itu.

Padahal tak ada apa-apa di situ. Selain, mungkin angin semilir yang membawa harum kenanga. Di situ udara bebas berkesiur. Di taman dekat parkiran motor, memang ada rumpun-rumpun bunga kenanga. Jadi wajar saja baunya menyergap selintas-dua, membuat cuping hidungmu bergerak simultan. Sementara sesuatu yang melintas itu, paling tidak hanya halusinasi. 

Ketakutan yang menyeruak, pada saat suasana rumah sakit sepi. Dan itu selalu menjadi bahan pembicaraan orang-orang, baik pasien maupun pembesuk atau penunggu pasien. Kalau sudah malam benar-benar larut, tak ada lagi yang berani keluar masuk kamar pasien. Apalagi sang penunggu pasien. Bila benar-benar butuh sesuatu, paling tidak dia menghubungi perawat melalui intercom.  Ya, ya! Hanya perawat-perawat itulah yang tak menyimpan ketakutan pada lorong-lorong rumah sakit yang sepi. 

Hanya perawat-perawat itulah yang berani keluar-masuk kamar mayat tanpa rasa cemas. Itu artinya, kalau kau mau menjadi perawat, salah satu hal utama yang harus kau miliki adalah keberanian. Kalau takut hantu, maka jangan sekali-sekali bercita-cita menjadi perawat! Bisa-bisa pasienmu mati, karena sekarat, sementara kau ketakutan untuk menjenguknya. Ya, kau takut melewati lorong-lorong sepi itu dengan suasana malam yang horor.

Begitu pula yang kualami. Aku sebenarnya tak bercita-cita menjadi perawat. Berhubung ibu memaksa---untuk melanjutkan jiwa keperawatan di dalam silsilah keluargaku yang mendarah daging---aku terpaksa mengiyakan. Aku tak ingin menjadi tumbal kekesalannya. Sebab nanti, aku akan butuh pekerjaan untuk mengeluti hidup yang tak ramah! Bila aku mengambil jurusan lain, misalnya berniat menjadi pengacara, tentu sulit juga meraihnya. 

Memang menamatkan sekolah pengacara itu, atau katakanlah jurusan hukum, taklah terlalu sulit. Asal rajin menghapal, dan mengasah kejelian otak, maka bisa cepat kelar. Tapi untuk memperoleh pekerjaan setamat jurusan hukum, tentulah sulit. Butuh tenaga ekstra demi berjibaku memasukkan tubuh di lahan kerja yang sempit. Sementara kalau menjadi perawat, tentulah mudah. Ibuku seorang kepala bidan di rumah sakit pemerintah. Dia memiliki channel banyak. Jadi, setamat sekolah, mudah-mudahan dia merekomendasikanku untuk ditempatkan di rumah sakit-rumah sakit bonafide.

"Hei, melamun!" Luri, rekan kerjaku, mengejutkanku dengan sentuhan tangannya yang dingin. Aku tersentak. Hari pertama bekerja di rumah sakit, membuat nyaliku ciut. Rasa was-was menyergap. Sebab, aku mendengar selentingan dari beberapa orang bahwa tempatku bekerja sekarang, sangat menyeramkan. Memang di siang hari tak ada yang perlu ditakutkan. Tapi di malam hari yang sepi, selalu saja ada hal-hal aneh terjadi. Makanya banyak orang tak ingin menjaga pasien di rumah sakit ini, meskipun si pasien itu ibunya sendiri. Kalaupun ada yang berani, pastilah dia hanya mendekam di kamar seperti kukang yang pemalu.

"Kau menakutkanku!" seruku.

"Memangnya aku hantu?" Dia membuatku semakin ciut. Apalagi kemudian dia menyuruhku memberikan suntikan kepada pasien di sal H. Hmm, jarak yang lumayan jauh. Sepi, dan dilalui koridor yang di kiri-kanannya hanya ada lapangan rumput, dan kembang-kembang berpot besar.

"Aku...."

"Kenapa? Takut? Masa' perawat takut. Kalau mau menjadi perawat ha..."

"Ya, aku ke sana," potongku cepat. Aku tak ingin mulut nyinyirnya terus menyerocos. Lagipula sebagai karyawan baru, aku harus menurut perintah dan aturan orang lama.    

Segera kuambil peralatan serta obat yang dimaksud. Sambil membaca basmalah, aku melangkah perlahan. Suasana benar-benar sepi. Sebagian perawat yang jaga, sudah menghentikan obrolannya. Ada yang telah tertidur di meja. Sementara satu-dua menulis laporan. Uh, pekerjaan yang penuh kesibukan!

Tapi itu bukan persoalan, kecuali melewati koridor yang sepi. Bao, seorang tukang sapu yang sempat mengajakku berbincang, mengatakan bahwa di koridor itu sering ada seorang perempuan tua melintas. Tepatnya ketika jam menunjukkan pukul duabelas malam, atau lebih. Perempuan tua itu hanya menoleh sesaat. Kemudian menghilang di balik pot kembang yang ditumbuhi rimbun pohon bonsai.

Aku berharap ceritanya hanya isapan jempol.  Mungkin ingin menakut-nakutiku, sehingga tak betah bekerja di rumah sakit ini. Toh, orang selalu berusaha membuat hal aneh-aneh, kalau ingin menyingkirkan seseorang. Seperti tingkah Bao!

Aku dapat mendengar suara tumit sepatuku berdetak seirama. Seekor kucing yang melintas, membuatku bertambah ngeri. Ingin rasanya berbalik kembali ke ruang jaga perawat. Tapi tak mungkin. Kalau ada apa-apa kepada pasien di sal H sebab tak disuntik, akulah yang akan menjadi sasaran kemarahan. Bisa-bisa aku langsung didepak dari rumah sakit. Dan aku tak mau itu terjadi. Ibu pasti mencincangku dengan omongan setajam belati.

Tiba-tiba ekor mataku melihat sepasang kaki kurus menjulur dari balik tiang koridor. Kaki itu tak beralas. Kaki itu dibalut kain sarung dengan warna kumal. Milik siapakah itu? Apakah milik penunggu pasien? Tapi siapa yang berani di antara mereka berkeliaran di malam sepi begini? Atau, mungkinkah dia hantu yang diceritakan Bao?

"Maaf, kau perawat baru di sini?" Pemilik kaki itu akhirnya keluar dari balik tiang koridor. Aku menjerit tertahan. Pemilik kaki itu hanya tersenyum menanggapi. Dia perempuan lusuh berambut gimbal. Mengenakan kain sarung batik dan kebaya gombal. Dia menarik sebatang sigaret, lalu menyalakannya. Sambil menghisap sigaret, dia berdiri di depanku seolah menghalangi langkah ini menuju sal H.

"Kenapa kau tak menjawab?"

Ketakutanku sedikit sirna. Kenapa pula aku harus ngeri dengan perempuan di depanku? Meskipun penampilannya aneh, tapi dia pasti bukan hantu. Hantu tak mungkin dapat berbincang denganku sefasih ini. Hantu dalam benakku, hanyalah sosok yang senang menakut-nakuti. Dia memiliki tawa nyaring. Mata besar dan mulut lebar. Lidah panjang yang terjulur menyeramkan. Namun sekali lagi, dia tidak! Dia manusia sepertiku. Paling-paling yang membedakan, barangkali dia gembel, sementara aku seorang perawat dengan kondisi keluarga lengkap dan harmonis.

"Ya, aku memang perawat baru! Ibu siapa?"

Dia tertawa. Ketakutan kembali melingkupiku. Tapi ketika dia bercerita panjang lebar tentang dirinya, lambat laun ketakutan itu sirna. Dia biasa dipanggil Piah, meskipun nama sebenarnya Fatimah. Tentu nama dan panggilan itu sangat jauh berbeda. Namun menurutnya itu tak perlu dipermasalahkan. Dia menikmatinya sebagaimana dia menikmati hidup dengan sabar. 

Dulu, dia seorang kembang desa. Berhubung berpacaran dengan seorang pemuda kota yang mengaku pengusaha, maka dia hengkang ke kota besar. Tepatnya dia melarikan diri, atau kawin larilah. 

Dengan pacar yang telah menjadi suaminya itu, dia akhirnya hidup susah. Bagaimana tidak, ternyata si suami hanya pembohong. Dia seorang buruh yang bekerja serabutan. Terkadang sehari bekerja, dua hari libur. Oleh sebab itu Piah membantunya dengan bekerja sebagai penjaja kue.

Ternyata kebutuhan hidup sangat banyak. Si suami yang tak memiliki akal sehat itu, akhirnya menjadikan Piah menjadi kembang lokalisasi. Piah diserahkan kepada germo, dengan perjanjian, tiap bulan sepuluh persen dari pendapatan Piah menjaja diri, masuk ke kocek suaminya. Wah, wah! Perjanjian gila yang sangat menyakitkan.

Piah berusaha berontak. Tapi apa daya seorang kembang desa yang udik, plus kekurangpendidikan. Akhirnya dia menjadi pelengkap penderita saja. Dia menjaja diri, sekaligus nurani. Dia terpenjara di lingkungan penuh dosa. Padahal dulu di desa, meskipun menjabat sebagai kembang, dia adalah perempuan alim yang taat beribadah. Sekarang, ibadah apalagi? Rutinitas hanyalah merajut dosa dari segumpal menjadi sepeluk. Dari sepeluk menjadi serumah. Kemudian segedung. Segunung. Ah, dosa itu mengalir dan membuatnya semakin ringkih.

Dia membujuk suaminya agar menariknya dari lumpur lokalisasi. Namun si suami yang berotak bejat, tak mau. Begitu Piah menua, kemudian tak laku, dia pun didepak dari lokalisasi oleh sang germo. Sang suami menghilang tak tentu rimbanya. Terpaksalah Piah menggelandang. Menjadi pengemis yang menambah kekumuhan kota.

"Nama suami ibu siapa?" tanyaku.

"Rahul...."

"Apakah ibu sudah pernah bertemu dia lagi?"

"Sudah! Malahan dia bekerja di sini. Tapi dia selalu mengatakan kepada setiap orang bahwa aku adalah hantu yang selalu muncul di koridor rumah sakit ketika malam benar-benar sepi. Dia tentunya hanya ingin bersembunyi agar orang-orang tak mengetahui bahwa aku adalah istri sahnya."

"Kejam sekali! Lalu ibu tetap datang setiap malam di koridor ini?"

"Ya, hampir setiap malam aku muncul, membuat nyali lelaki brengsek ciut. Aku tak perduli apakah orang-orang akhirnya ketakutan dan terbirit melihatku." Dia terawa. Sementara pikiranku menjalar kepada Bao. Ya, Bao.... Lelaki yang baru kukenal sehari. Mungkinkah dia suami Piah?

Dalam kekalutan pikiran, Bao sekonyong muncul. Dia tak banyak berbicara selain mengeluarkan belati dari pinggangnya sebelah kiri. Dihunjamnya perut Piah berkali-kali. Perempuan itu berkelojotan, lalu mati. Kemudian Bao beralih menatapku. Dia menghunjamkan belati berulang-ulang kepadaku. Tapi aku tetap sanggup berdiri. Aku tetap lapang bernapas. Hingga Bao kehabisan akal dan menjerit. Sebuah hantaman darinya, sontak membuatku terjatuh. Dunia gelap. Lampu-lampu koridor seolah padam.

* * *

Orang-orang yang berbincang cukup ramai itu, membuatku tersadar. Tapi aku tak bisa membuka mata, selain menggerak-gerakkan jemari tangan begitu perlahan.

"Aku menemukannya di koridor rumah sakit. Dia pingsan," ucap seseorang.

"Bagaimana kondisi pasien di sal H yang akan disuntiknya," kata yang lain.

"Sehat-sehat saja. Dia langsung disuntik suster Mery ketika Pipit ditemukan pingsan." Orang yang berbicara pertama kali, menjawab tegas.

Aku akhirnya dapat membuka mata. Kutatap sesosok perawat yang ternyata Luri. Kuceritakan dengan perlahan kepadanya tentang pertemananku dengan Bao dan Piah. Juga tentang kejadian pembunuhan menyeramkan itu. Luri langsung terbelalak. Begitu pula perawat-perawat yang mengelilingiku. Mereka mengatakan, bahwa Bao dan Piah memang pernah bekerja di rumah sakit itu. 

Tapi dulu sekali. Mungkin sekitar lima-enam bulan lalu. Keduanya ditemukan tewas di koridor rumah sakit dengan beberapa luka tusukan di bagian dada. Menurut saksi mata, mereka bertengkar dan saling menusuk mempergunakan dua buah belati. "Kami tak tahu apa asal-muasal pertengkaran mereka. Yang pasti, mereka sudah lama meninggal."

Aku tiba-tiba pingsan lagi. Tentunya bukan karena mendengar cerita mereka. Melainkan disebabkan sepasang kepala yang tiba-tiba muncul di balik jendela. Kepala Piah dan Bao yang penuh lumuran darah.

Setelah itu, kuputuskan berhenti menjadi perawat. Tapi aku tetap berada di rumah sakit sampai sekarang. Aku tak memiliki pekerjaan selain berkeliaran di koridornya ketika malam benar-benar sepi. Terkadang bersama Bao, terkadang bersama Piah. Ya, mungkin tebakanmu benar. Aku sekarang adalah sesosok hantu. Karena setelah pingsan ketika melihat kemunculan sepasang kepala Piah dan Bao di balik jendela beberapa waktu lalu, aku tak bangun-bangun lagi. Hingga sekarang,  aku terkubur di jalan kamboja. 

Oya, tapi kau jangat takut. Aku tak akan mengganggumu ketika malam-malam melintas di koridor rumah sakit itu. Karena setelah membaca tulisan tanganku ini, artinya kita telah berteman.

---sekian---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun