Kemarin ketika kita menjalin melody, kau masih hadir menjelma pijar, lampu-lampu taman mengajari cinta, kebutuhan saling membutuhkan.
Kau tuliskan kenangan di atas panggung harap, menyuratkan bahwa sisa sayangmu hanya untukku.
Kau katakan tanpaku kau hidup bagaikan lorong, sampai uban merajut usia, air mata bukan lagi luka, bahwa tarikan napas itu penyemangat, dipagut waktu, biarlah bisa asmara tak mengenal lupa.
Setelah perjumpaan, tentu menawarkan perpisahan, ketika air mata samudera memberitahu tak ada yang abadi, menyeretmu ke palung penyudahan, terkadang larat membuatku mengutuk ketidakadilan.
Aku gamang, seperti lelayang tak tentu arah, namun masih kuingat bisik tulusmu, dalam ciuman tanpa lekang, sisa cinta itu hanya untukku.
Saat ini tak ada penopang, lagu sunyi menyadap pantai, antara kau, sahabat, hidup kurasakan telah berpaling.
Kemarin itu, ada yang terlupa aku lakukan, mencium pelukmu seceruk tak berdasar, merengkuh bahu sahabat lebih dalam, sebelum untai kelam, mengabarkan angin dan hujan, menambah cuka nyeri luka dan harapan.
122018