Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Selamat Ulang Tahun, Brip

19 April 2019   21:43 Diperbarui: 19 April 2019   21:47 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Pertama kali bertemu aku, dia masih kecil. Mungkin berumur sekitar dua tahun. Dia memperkenalkan namanya; Brip. Nama yang singkat, sesingkat penampilannya. Dia mengenakan baju kaos krem dan celana pendek berwarna senada. Sepatunya sedikit kekecilan, sehingga dia kelihatan susah berjalan. Rambutnya tak tertata rapi. Dia, bolehlah, kelihatan agak tampan. Maksudku, bakalan menjadi orang tampan. 

Dia mengepit seeksemplar koran. Ditatapnya aku sambil mendongak. "Wah, kecil-kecil sudah berjualan koran, ya!" selorohku. Brip tersipu. Ditatapnya Mang Del, penjual yang sudah menjadi pengantar tetap koran-koranku. 

"Anak saya, Den Mas. Dia ngotot ikut menjajakan koran." Mang Del menjawab pertanyaanku yang belum terlontarkan. Aku hanya mengangguk. 

Kedatangan Brip menjadi suatu kejutan bagiku. Juga bagi istriku yang memang mengidam-idamkan anak selucu Brip. Kami terpaksa menahan mereka berdua. Menyuguhi mereka berpotong kue, dua gelas susu coklat dan dua piring nasi goreng.

"Ah, tak usah repot-repot, Den Mas. Kami hanya penjual koran. Lagipula," dia melirik ke tumpukan koran yang diikat di boncengan sepeda.

Seolah dapat membaca pikirannya, aku berkata, "Tak usah takut koran-koran itu tak laku. Biar aku yang memborongnya," candaku.

Kami pun menjadi sangat akrab. Padahal dulu, hubunganku dan Mang Del biasa-biasa saja. Tak lebih dari hubungan penjual dan pembeli. Mungkin sudah hampir setahun aku menjadi pelanggan tetapnya setiap hari. Tapi kali pertama dia membawa Brip, seolah kami menjadi sangat karib. Apalagi Brip yang masih berbicara cadel, selalu bertingkah lucu.

Kasihan, anak sekecil dia harus mengikuti bapaknya keliling menjajakan koran! Meskipun dia yang ngotot ingin ikut, namun toh dia masih sangat kecil untuk keliling-keliling di bawah sinar matahari pagi yang barangkali kurang ramah bagi kulit halusnya. Tapi menurut Mang Del, itu harus dilakukannya. Sebab tak ada lagi kawan Brip di rumah.

Si kecil itu baru kehilangan ibunya seminggu lalu. Kehilangan dalam arti yang dalam; ibunya meninggal. Jadi, dengan sangat terpaksa, Mang Del menyetujui hasrat Brip keliling-keliling kota menjajakan koran. "Ya, meskipun ada bibinya yang mengasuh, tapi pasti tak bisa memperhatikan dan menjaga Brip terus-terusan. Dia memiliki lima anak yang harus diawasi juga," ucap Mang Del menjelaskan.

Ah, betapa tersentuh hatiku, dan  istri seperti terhpinotis Brip. Setelah hampir tiga tahun menikah, kami belum juga diberkahi anak oleh Tuhan. Mungkin Brip-lah sebagai pengobat rindu kami. Kalau Mang Del setuju, anaknya akan kami angkat sebagai anak kami.

Mang Del tersenyum. Kutahu dia tak bahagia. Di ujung matanya, air mengalir, lalu merambati pipi. Baginya, Brip adalah segala-galanya. Dia tak mungkin menyerahkan hak asuh kepada kami. "Harta saya satu-satunya adalah dia, Den Mas."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun