Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Buntelan Kain

17 April 2019   20:48 Diperbarui: 17 April 2019   21:08 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Ardian masih asyik menggesek-gesekkan sapu lidi di sepanjang jalan protokol ini. Jaketnya riap-riapan diterabas angin yang hampir mengabarkan hujan. Sebenarnya, pening telah memaku-maku kepalanya sejak shubuh tadi. 

Tapi hatinya kuat bekerja. Izin sakit, artinya dia tak berpenghasilan hari ini. Tak berpenghasilan hari ini, sama saja menerima omelan istri, dan jerit anak meminta uang jajan. Belum lagi duit untuk membeli obat di apotik. Duh, mengapa hidup sedemikian keras membetot otot-ototnya yang ringkih?

Sapuan Ardian berhenti. Lebih tepatnya terganjal sebuntelan kain. Hatinya risau. Buntelan kain siapa gerangan itu? Adakah hanya sampah? Atau, bisa jadi timbunan harta? Dia menggeleng-geleng. 

Dia merasa gila oleh tebak-tebakan yang menggerayangi otaknya yang miskin. Maka, jangan pernah menyalahkan bila kakinya menjauh dari buntelan. Dia lebih memilih menyelesaikan menyapu jalan hingga kelar. Dia tak ingin mencari masalah, atau ribut dengan sebuntelan kain.

Ribut dengan sebuntelan kain? Keningnya berkerut. Entah sebab siapa, tiba-tiba sebuntelan kain berwarna putih suram itu kembali menghalangi geraknya. Kali ini bukan gerakan sapu, melainkan langkahnya.

Apakah buntelan ini memiliki kaki sehingga bisa mengejar langkahku? Apakah angin yang menghembuskannya?  Ah, hanya angin beliung yang bisa menghantarkannya ke mari. Batin Ardian tak tenang.

Dia akhirnya meraih buntelan itu, setelah terlebih dulu celingak-celinguk. Sebatang pohon mahoni menjadi tujuan utamanya. Bersandar di batang yang kokoh. Bernaung di bawah rerimbun daun. Menghadapi hidangan besar; sebuntel kain!

Ardian hanya bisa mengelus dada. Isi buntelan kain yang dia harapkan berupa harta, ternyata setumpuk surat. Dia menggeleng-geleng. Dia hampir membuang buntelan kain  beserta isi-isinya ke selokan. Tapi urung sudah, sebab dia tergoda membaca salah satu isi surat itu. Lagi pula bila membuangnya ke selokan, sama saja dia mendustai pekerjaannya. Dia petugas kebersihan kota, yang haram mengotori kota dengan sampah buduk itu.

Surat pertama berwarna putih susu. Masih baru. Isinya tentang cinta-cintaan antara si penulis surat dengan penerima surat. Ah, cinta cengeng! Cinta sepasang remaja yang membuat jiwa tuanya mual. Ya, ya. Dia toh tak mungkin mengalami cinta remaja lagi. Giginya nyaris habis, pertanda usianya semakin mendekati liang kubur. Bukan sebaliknya berubah lebih muda atau malahan kanak-kanak.

Surat kedua berwarna coklat. Kertasnya berbahan jerami atau lebih dikenal orang kertas stensilan. Tangan Ardian mengigil ketika membaca isi surat itu. Terbaca nama pengirim adalah seorang pejabat teras di kota ini. Terbaca orang yang dikirimi surat adalah seorang perempuan, yang mungkin muda dan cantik. Ardian tahu si penerima surat bukan istri sah si pejabat. Ardian tahu nama lengkap istri si pejabat. Sementara nama si penerima surat sangat asing baginya. Seperti nama hostes.

"Aku bisa kaya dengan menulis berita yang bisa mempermalukan pejabat. Mamang bisa tahu berapa banyak uang yang kuterima dengan berita yang hampir turun cetak itu? Sejuta, sepuluh juta? Pejabat tak ingin boroknya dipahami publik setelah aku menulisnya di koran." Terngiang kata-kata Alibin di telinga Ardian. Alibin seorang wartawan koran khusus kriminalitas. Dia sering berurusan dengan pejabat korup atau menyimpang. Hanya saja dia tak pernah bisa mengotori nama mereka di koran. Alibin sudah terlalu sering menerima sogokan agar berita-berita itu tak jadi dimuat, kemudian dipetieskan, alias mendiang di bawah dipan Alibin yang kotor dan bau apek.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun